Pelaksanaan rencana aksi penyelamatan danau prioritas I dirancang berawal tahun ini. Namun, hal itu tertunda karena perubahan struktur pemerintahan, di antaranya penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan. Gantinya, ditargetkan terlaksana pada tahun depan, itu pun belum bisa menjangkau 15 danau.
“Ada penyesuaian organisasi sehingga butuh penegasan dulu, mana yang bertanggung jawab terhadap sektor itu,” kata Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hermono Sigit saat dihubungi, Minggu (13/12), di Jakarta. Direktorat Pengendalian Kerusakan Perairan Darat KLHK yang ditetapkan bertanggung jawab mengoordinasi kelanjutan penyelamatan danau.
Berdasarkan Kesepakatan Bali 2009 yang ditandatangani 9 menteri, ada 15 danau prioritas pertama yang perlu diselamatkan. Prioritas berdasarkan tingkat kerusakan atau pencemaran, pemanfaatan danau, nilai strategis, komitmen pemerintah daerah, biodiversitas, dan bencana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebanyak 15 danau itu adalah Danau Rawa Pening (Jawa Tengah), Danau Toba (Sumatera Utara), Singkarak dan Maninjau (Sumatera Barat), Kerinci (Jambi), Rawa Danau (Banten), Batur (Bali), Tempe dan Matano (Sulawesi Selatan), Poso (Sulawesi Tengah). Selain itu, ada Danau Tondano (Sulawesi Utara), Limboto (Gorontalo), Sentarum (Kalimantan Barat), Kaskade Mahakam (Semayang, Melintang, Jempang) di Kalimantan Timur, dan Danau Sentani (Papua).
Sigit mengatakan, restorasi danau didelegasikan ke Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) pada setiap danau. Namun, BPDAS saat ini belum bisa langsung menjalankan rencana aksi karena belum ada dasar hukum.
Kementerian LHK pun menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) restorasi danau yang akan jadi panduan BPDAS. Nantinya, NSPK dilegalkan dalam bentuk Peraturan Menteri LHK yang ditargetkan terbit pada Februari 2016.
2016 realistis
Target realistis diputuskan memulai program restorasi tahun depan setelah peraturan terkait NSPK rampung. Itu pun baru mencakup enam danau, yakni Limboto, Singkarak, Maninjau, Kerinci, Batur, dan Toba.
Bentuk restorasi berupa penanaman pohon di lingkungan sekitar danau dengan dana BPDAS, bersumber dari Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK. Besaran dana belum ditetapkan karena NSPK belum selesai. “Targetnya, laju sedimentasi ditekan jadi naik kurang dari 1 persen,” ujar Sigit.
Dana yang ada sebatas untuk pelatihan bagi 36 BPDAS dan 16 Badan Lingkungan Hidup Provinsi yang bertanggung jawab pada 15 danau, 15 DAS prioritas, dan mata airnya. Total anggaran pelatihan 2016 Rp 3,8 miliar.
Masalah utama di danau-danau ialah eutrofikasi (peningkatan unsur hara), pencemaran, dan sedimentasi. Eutrofikasi dan pencemaran salah satunya karena limbah pakan ikan dari karamba jaring apung (KJA).
Masalah lain, akibat pendangkalan danau, terdapat tanah timbul yang sebelumnya tergenang. Tanah itu banyak dikapling untuk pendirian bangunan seperti terjadi di Danau Limboto.
Menurut pakar limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gadis Sri Haryani, restorasi danau butuh kesatuan pemahaman para pihak. Misalnya, Singkarak masuk wilayah dua daerah, yakni Kota Solok dan Kabupaten Tanah Datar.
Pemerintah Kota Solok melarang KJA, tetapi Pemerintah Kabupaten Tanah Datar memberi izin membangun KJA di danau. Padahal, danau itu kesatuan ekosistem, tak terpengaruh batas administrasi. (JOG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Penyelamatan Danau Prioritas Tertunda”.