Dari atas Benteng Otanaha, di ketinggian sekitar 200 meter di perbukitan Gorontalo, pemandangan menyedihkan kondisi Danau Limboto menyambut pengunjung. Danau yang pernah didarati pesawat amfibi oleh Presiden Soekarno itu tak ubahnya genangan dengan kedalaman sekitar 2 meter.
Sedimentasi parah akibat kerusakan daerah aliran sungai di sekeliling danau membuat kedalaman air amat dangkal. Diperkirakan, laju sedimentasi 5.300 ton per tahun. Tak heran, masalah yang berlangsung bertahun-tahun itu membuat perairan sekeliling danau kini jadi daratan yang dipadati rumah, tempat ibadah, lapangan, sawah, dan kebun.
Pusat Limnologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencatat, luas danau turun amat cepat dari 7.500 hektar pada 1932 jadi 2.537,2 hektar pada tahun 2007. Dengan rata-rata penurunan luasan itu, diprediksi tak sampai 2025, seluruh Danau Limboto berubah jadi daratan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalah utama berupa erosi itu membuat sejumlah pihak berjibaku menyelamatkan 1 dari 15 danau prioritas di seluruh Nusantara itu. Mulai dari pendekatan teknik fisik berupa dam, pintu air, penanaman di daerah aliran sungai yang kritis, masih berlangsung.
Dari sisi penanaman, kini pendekatan budaya dilakukan agar masyarakat mau menjaga dan merawat tanaman itu. Adalah bambu yang punya keterikatan kultural dan kehidupan sosial bagi warga Gorontalo.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sejumlah warga menanam bambu di Desa Tabongo Timur, Kabupaten Gorontalo, Jumat (11/12). Sedimentasi parah yang dialami Danau Limboto di Gorontalo berusaha diatasi dengan penanaman bambu di beberapa sempadan sungai yang mengalir ke danau. Bambu memiliki perakaran kuat sehingga mampu mengikat tanah agar tak erosi ke sungai.
Bambu kuning atau wawahu hulaua menjadi kebutuhan dan syarat wajib bagi masyarakat Gorontalo saat menggelar perkawinan, upacara kematian, dan menyambut tamu agung. Namun, bambu kuning relatif sulit ditemukan.
Ismet Harun, Kepala Desa dan pemuka adat di Tabonga Timur, mengatakan, bambu kuning jadi syarat mutlak bagi warga setempat saat menggelar hajatan. “Karena susahnya mendapatkan bambu kuning, orang yang punya hajatan sampai mengecat bambu-bambu biasa dengan warna kuning,” tuturnya.
Setiap kali hajatan, butuh sedikitnya 20 batang bambu dewasa untuk dibuat tangga, pagar hias, dan aneka dekorasi adat. Bambu umumnya dibeli seharga Rp 20.000 per batang. Dengan harga jual relatif tinggi, warga memanen bambu ala kadarnya, tanpa memperhatikan keberlanjutannya.
Saat menyusuri Desa Tabonga Timur dan Upamela, di Kabupaten Limboto, hanya tampak beberapa rumpun bambu kuning muda dari pinggir jalan desa setempat. Tanaman yang banyak ditemui adalah bambu pagar ataupun bambu hijau.
Di kampung tempat sempadan anak sungai mengarah ke Sungai Alo Pohu (satu dari beberapa sungai utama yang bermuara ke Danau Limboto) itu, kelompok tani setempat menanami 10 hektar lahannya dengan bambu. Kelompok masyarakat di Tabonga Timur kebagian 4.000 bibit yang diperoleh dari kelompok tani penangkar bambu Kabupaten Bone Bolanga.
Program yang dimodifikasi dari gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL atau Gerhan) itu memberi dana swakelola Rp 42 juta per kelompok tani. Dana itu dipakai untuk pembelian bibit, penanaman, dan perawatannya. Masyarakat pun diperbolehkan memanen bambu jika sudah dewasa atau usia 3 tahun.
Mencegah erosi
Di Desa Upomela, Ketua Kelompok Tani Lestari Umar Kaluku menjelaskan, bambu terbukti menjaga sempadan sungai dari erosi. Ia menunjukkan satu rumpun bambu yang amat rimbun di pinggir jembatan yang melewati Sungai Tohupo. Meski sekeliling lokasi tererosi parah puluhan meter, lahan di rumpun bambu itu tak tergerus.
Akibat erosi yang bermuara di Danau Limboto itu, sungai pun jadi amat dangkal. Menurut Umar, pada 1980-an, saat kemarau kedalaman sungai mencapai leher orang dewasa. Kini, hanya sebetis orang dewasa. “Kami butuh bambu tak hanya untuk keperluan adat, tetapi juga untuk melindungi lahan dari erosi,” ujarnya.
Kepala Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango Saparis Soedarjanto mengatakan, bambu jadi pilihan karena pengalaman RHL atau Gerhan periode lalu. Saat itu, masyarakat diberi dana untuk menanam tanaman agroforestri di lahan masing-masing.
Namun, setelah dana bantuan selesai diberikan dalam 2 tahun, tanaman itu dicabut, dipangkas, dan kembali jadi aneka kebun jagung ataupun sayur. “Dengan bambu, warga tak akan mencabut karena mereka membutuhkannya,” ujarnya.
Dari sisi karakter biologi, pakar bambu LIPI, Elizabeth A Widjaja, menunjukkan riset yang membuktikan bambu mencegah erosi tanah. Dalam penelitian itu, setelah 5 tahun penanaman, erosi tanah turun dari 4.235 ton per km persegi menjadi 436 ton per km persegi.
Upaya penanaman bambu baru langkah kecil mengerem laju sedimentasi di DAS Limboto yang punya 26.000 hektar lahan kritis. Proyek pendukung, seperti pembangunan puluhan hingga ratusan dam pengendali, dam penahan, dan pembuatan pintu air, akan sia-sia jika sedimentasi terus terjadi.
Kerja keras dibutuhkan. Itu mengingat Limboto sebagai danau tektonik yang ada di ketinggian hanya 5 meter di atas permukaan laut. Sedimentasi di Danau Limboto jadi keniscayaan jika kerusakan DAS Limboto dan DAS Bone Bolango yang mengelilingi tak bisa dipulihkan.–ICHWAN SUSANTO
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Bambu bagi Limboto”.