Kemkominfo: Blokir 6 Sistem Nama Domain
Kementerian Komunikasi dan Informatika terus mendorong penyedia aplikasi internet agar mematuhi norma dan kaidah hukum di Indonesia. Dorongan itu dapat dipatuhi dengan cara mencegah penyebaran konten negatif.
Terkait kasus konten asusila berformat GIF di Whatsapp, misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengklaim sampai mengirim permohonan take down atau pencabutan konten sebanyak tiga kali kepada Facebook Inc, perusahaan induk Whatsapp. Permohonan dikirim melalui surel pada 5-6 November 2017. Hasilnya baru bisa dilihat 2 x 24 jam.
Tim Aduan Konten Kemkominfo menemukan konten bermuatan asusila dapat diunggah dengan cara mengetik kata kunci tertentu. Konten-konten tersebut berasal dan disediakan oleh pihak ketiga Whatsapp, yaitu Tenor.com dan Giphy.com. Maka, Kemkominfo juga mengontak dan meminta langsung pencabutan konten kepada Tenor.com dan Giphy.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejauh ini, terkait klaim Kemkominfo, pihak Giphy.com bersedia menyaring konten asusila ataupun bernuasa negatif lainnya sehingga tak bisa diakses di Indonesia. Hasil komitmen Giphy.com baru bisa dilihat satu hingga dua hari mendatang.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan, dalam konferensi pers, Senin (6/11), di Jakarta, mengatakan, Tenor.com sampai kemarin belum memberikan tanggapan. Karena itu, sejak Senin pagi, Kemkominfo telah meminta penyedia jasa internet memblokir enam sistem nama domain (DNS) dari Tenor.com. Keenam DNS yang dimaksud adalah tenor.com, api.tenor.com, blog.tenor.com, qa.tenor.com, media.tenor.com, dan media1.tenor.com.
Menurut Semuel, masalahnya terletak pada konten yang disediakan oleh pihak ketiga penyedia aplikasi. Penyedia aplikasi seharusnya juga harus bertanggung jawab terhadap pendistribusian konten ke pasar dan jangan berlindung atas nama pihak ketiga. “Kepada Whatsapp, kami berharap tegas untuk mencegah konten negatif yang tidak sesuai dengan norma negara pasar mereka,” ujar Semuel.
Tim Aduan Konten Kemkominfo telah mengirim surel kepada Whatsapp untuk memastikan agar konten asusila tidak dapat diakses dari Indonesia. Apabila surel itu tidak segera ditindaklanjuti, Pemerintah Indonesia bisa melakukan tindakan tegas kepada Whatsapp.
Semuel menyatakan, pemerintah menyadari bahwa pendistribusian konten asusila ataupun bentuk negatif lainnya sudah memakai seluruh jenis platform dan aplikasi. Jenisnya tidak terbatas pada platform dan aplikasi percakapan, tetapi juga sampai ke teknologi mesin pencari.
“Penyedia teknologi mesin pencari, seperti Google, juga akan sering kami ajak bicara. Intinya, dia juga harus berani menyaring. Mereka harus mengikuti norma dan kaidah hukum di Indonesia,” kata Semuel.
Literasi digital
Sepekan sebelumnya, Menkominfo Rudiantara menyampaikan, pemanfaatan teknologi informasi komunikasi perlu diimbangi dengan penguatan literasi atau pemahaman akan konsekuensi dunia digital. Literasi digital saatnya diarahkan untuk memperkuat persatuan bangsa.
Cakupan literasi digital yang dibutuhkan mulai dari kemampuan untuk melawan pornografi, berita palsu, penipuan, upaya memecah belah bangsa lewat media sosial. dan konten negatif lainnya (Kompas, 1/11).
Mengutip data Kemkominfo pada Oktober 2017, aduan konten pornografi menempati urutan teratas dengan jumlah 585. Urutan berikutnya adalah konten perjudian sebanyak 677, lalu penipuan dagang ilegal 236, dan SARA/kebencian 2 aduan.
Pakar perkembangan anak dari Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, memaparkan, kericuhan di masyarakat tidak terlepas dari minimnya literasi digital para orangtua dan guru. “Mereka rata-rata hanya bisa mengoperasikan gawai, tetapi tidak mengerti risiko yang terkandung di dalam jaringan,” tuturnya.
Ketidakpahaman ini mengakibatkan hampir tidak ada pendampingan kepada anak mengenai pengenalan dan pemanfaatan gawai serta media sosial. Usia anak, yaitu 0-18 tahun, selalu memerlukan pendampingan bergawai yang disesuaikan dengan perkembangan mereka.
“Misalnya, media sosial mengatur kepemilikan akun hanya untuk orang-orang berusia 13 tahun ke atas,” ujar Diena. Artinya, sampai anak berusia 13 tahun, orangtua dan guru mendidik dan mengenalkan anak cara memakai gawai dengan sehat. Setelah itu, mereka mengawasi dan mewanti-wanti anak agar hanya mencari dan mengunggah konten positif.(MED/DNE/INA)
Sumber: Kompas, 7 November 2017