Pencegahan Tak Hanya Urusan Sektor Kesehatan
Penanganan penyakit tidak menular, seperti jantung, stroke, diabetes, kanker, dan ginjal memakan biaya besar. Tanpa kerja keras pengendalian, ongkos kesehatan dan beban ekonomi negara mencapai ribuan triliun rupiah per tahun. Produktivitas bangsa rendah, peluang menjadi negara maju melalui bonus demografi pun terancam.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek di sela-sela Sidang Kesehatan Dunia Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Geneva, Swiss, Selasa (19/5), mengatakan, pemerintah belum punya penghitungan beban ekonomi total untuk mengonversi seluruh beban keuangan akibat penyakit tidak menular. Data yang tersedia hanya biaya pengobatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Enam bulan pertama pelaksanaan JKN, Januari-Juni 2014, klaim pengobatan rawat jalan dan rawat inap penyakit katastropik sebesar Rp 5,27 triliun. Itu hanya di rumah sakit (RS), belum memasukkan klaim di jenjang layanan primer (puskesmas dan klinik). Penyakit katastropik yang termasuk dalam penghitungan itu adalah jantung, stroke, ginjal, diabetes, kanker, talasemia, dan hemofilia, yang semuanya merupakan penyakit tidak menular.
Meskipun jumlah kasus rawat jalan di RS untuk penyakit katastropik hanya 8 persen dari total kasus, itu menyedot biaya 30 persen dari seluruh biaya rawat jalan. Sementara kasus rawat inap sebesar 28 persen dari total kasus, memakan dana 34 persen dari total biaya rawat inap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Itu tidak termasuk pasien di luar pembiayaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan atau yang membayar sendiri ongkos berobatnya di rumah sakit dan pasien yang berobat di fasilitas kesehatan primer,” kata Nila.
Bebani perekonomian
Di luar biaya pengobatan, penderita penyakit katastropik akan membebani ekonomi negara. Terlebih lagi, kini penyakit yang sebagian dipicu akibat perubahan gaya hidup itu banyak dialami penduduk usia produktif. Kondisi itu dipastikan akan mengurangi produktivitas mereka di tempat kerja dan merugikan perusahaan, serta mengancam bonus demografi yang mensyaratkan adanya tenaga kerja produktif.
Penderita penyakit katastropik umumnya juga mengalami disabilitas, tidak bisa menjalankan kegiatannya sehari-hari dengan mandiri. Itu membuat mereka bergantung pada orang lain untuk menemani beraktivitas, termasuk menjalani pengobatan. Orang lain yang merawat itu umumnya tanpa dibayar karena masih anggota keluarga. Padahal, tenaga mereka bisa dimanfaatkan untuk hal-hal produktif lain.
”Beban ekonomi yang ditanggung pemerintah untuk mengatasi penyakit tidak menular memang hanya 5-10 persen dari total beban. Namun, beban terbesar justru ada di masyarakat,” ujar Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany. Diperkirakan, beban ekonomi semua penyakit tidak menular bisa mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, pengeluaran tak perlu akibat tembakau pada 2010 mencapai Rp 231,27 triliun. Rinciannya, Rp 138 triliun untuk beli rokok, Rp 2,11 triliun untuk perawatan medis, dan Rp 91,16 triliun akibat hilangnya produktivitas. Rokok merupakan faktor risiko sejumlah penyakit tidak menular, seperti jantung, stroke, paru, dan kanker.
Sayangnya, lanjut Hasbullah, pemerintah masih menganggap biaya kesehatan beban yang menghabiskan keuangan negara. Padahal, biaya itu investasi agar masyarakat sembuh dari penyakit dan bisa produktif lagi, serta bisa berkontribusi pada keuangan negara melalui pajak.
Penghitungan Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan, lima jenis penyakit tidak menular di Indonesia, yakni penyakit kardiovaskular, kanker, paru, diabetes, dan gangguan kesehatan jiwa antara tahun 2012 dan 2030 menyebabkan kerugian 4,47 triliun dollar AS atau Rp 58.000 triliun (kurs Rp 13.000). Itu sebanding 17.863 dollar AS atau Rp 232 juta per orang.
Besaran beban ekonomi Indonesia akibat penyakit tidak menular itu lebih besar daripada beban di India. Dengan jumlah penduduk lima kali penduduk Indonesia, beban ekonomi akibat kelima penyakit itu di India setara Rp 56.000 triliun.
Mencegah atau bangkrut
Besarnya pembiayaan dan beban ekonomi yang ditimbulkan penyakit tidak menular membuat pencegahan adalah kunci. Tujuannya, menunda kemunculan penyakit tidak menular saat masyarakat tak produktif lagi atau seiring turunnya fungsi tubuh.
”Bisa bangkrut negara kalau pendekatannya sekadar mengobati, bukan mencegah,” kata Guru Besar Biokimia Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Tri Hanggono Achmad.
Hal senada diungkapkan Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi. Karena itu, upaya pencegahan dan promosi kesehatan perlu didorong. ”Jika tidak, dana JKN bisa jebol,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro menilai, upaya pencegahan penyakit tidak menular jauh dari ideal. Pengobatan masih jadi fokus. ”Tak cukup hanya mengimbau, pemerintah harus beraksi nyata,” katanya.
Menurut Laksono, tempat ideal promosi kesehatan adalah sekolah. Nyatanya, sekolah justru jadi pusat penjualan makanan tak sehat. Makanan manis, berbahan kimia berbahaya, serta mengandung bahan tambahan pangan tidak sehat justru sangat mudah dijumpai di sekolah, baik di kota maupun perdesaan.
Namun, upaya pencegahan penyakit tidak menular bukan tanggung jawab Kementerian Kesehatan atau dinas kesehatan saja. Kementerian atau dinas lain juga bisa berperan besar, seperti kementerian/dinas perdagangan melalui pembatasan penjualan minuman manis atau dinas pendapatan daerah dengan memasang tarif iklan lebih tinggi untuk rokok dibandingkan produk lain.
Untuk mendorong makin banyak warga beraktivitas fisik, dinas tata kota juga perlu merancang sistem perkotaan yang membuat masyarakat mudah berolahraga ataupun sekadar berkumpul melepas stres.
Dalam pencegahan penyakit, kata Nila, pemerintah akan memprioritaskan penguatan fasilitas kesehatan primer dan memastikan berjalannya sistem rujukan. Hal itu untuk mencegah munculnya penyakit tidak menular dan terjadinya komplikasi bagi mereka yang sudah menderita. Sementara dalam jangka panjang, pencegahan penyakit melalui pengubahan perilaku harus terus dilakukan.
BPJS Kesehatan akan melaksanakan program pengelolaan penyakit kronis agar penderita hipertensi dan diabetes tidak mengalami komplikasi. Demikian pula program deteksi dini kanker leher rahim lewat papsmear dan infeksi visual asam asetat.(CHE/REN/NIT/HRS/ADH/MZW)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2015, di halaman 1 dengan judul “Penyakit Gerogoti Ekonomi”.