Penularan Covid-19 masih terus terjadi. Bahkan, jumlah kasus harian infeksi virus korona tipe baru itu mencapai rekor tertinggi pada hari Kamis (2/7/2020). Namun, pemeriksaan spesimen terkait penyakit itu belum optimal.
Kemampuan tes Covid-19 dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR di Indonesia meningkat, tetapi belum memenuhi standar minimal dan belum merata. Penggunaan tes cepat berbasis antibodi yang akurasinya rendah untuk diagnosis menjadi sumber masalah baru dan perlu dikaji ulang untuk dihentikan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat rekor penambahan kasus harian Covid-19, yaitu 1.624 kasus pada Kamis (2/7/2020), sehingga total sudah ada 59.394 kasus positif Covid-19 di Tanah Air. Adapun korban jiwa bertambah 53 sehingga total ada 2.987 pasien Covid-19 yang meninggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus dan korban jiwa akibat Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Ketika penambahan kasus di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, terus menurun, penularan Covid-19 di Indonesia justru meningkat.
Penambahan 1.624 kasus pada Kamis ditemukan dengan pemeriksaan PCR terhadap 10.814 orang. Dengan demikian, angka rata-rata positif (positivity rate), yaitu perbandingan jumlah kasus positif dan orang yang diperiksa, mencapai 15 persen. Hingga kini, total ada 503.132 orang yang telah diperiksa sehingga angka rata-rata positif 11,8 persen. Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata positif yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen.
Dewi Nur Aisyah dari Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kemarin, di Jakarta, mengatakan, rata-rata angka kasus positif di Indonesia pada Juni 2020 telah turun dari Mei lalu yang sebesar 13 persen.
Laporan WHO tentang perkembangan Indonesia yang diterbitkan pada Rabu (1/7) menyebut risiko penularan di Indonesia tinggi karena pergerakan warga antardaerah, kabupaten, dan provinsi meningkat seiring pelonggaran pembatasan sosial berskala besar. WHO menyoroti ada keterlambatan antara proses tes dan pelaporannya selama semingguan.
Sesuai standar WHO, persentase sampel positif yang menandai ada pengawasan komprehensif dan pemeriksaan kasus hanya bisa diukur jika jumlah tes minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu. ”Satu- satunya provinsi di Jawa yang mencapai tolok ukur deteksi kasus minimum ini adalah Jakarta,” sebut laporan tersebut.
Masalah tes cepat
Henry Surendra, peneliti serologi dan epidemiolog Laporcovid19.org, mengatakan, salah satu hambatan percepatan tes Covid-19 dengan PCR di Indonesia adalah penggunaan tes cepat (rapid test) berbasis antibodi untuk diagnosis, padahal akurasinya rendah. Laporcovid-19 mendapat informasi dari sejumlah dokter yang ditekan kepala daerah agar mengurangi tes PCR dan hanya memakai tes cepat antibodi sehingga kasus positif tak bertambah.
Padahal, tes cepat lebih tepat untuk studi guna mengetahui tingkat kekebalan komunitas dan sebaran orang yang pernah tertular. Jadi, pemerintah perlu mengevaluasi penggunaan tes cepat yang rentan disalahpahami dan disalahgunakan.
”Sebaiknya pemerintah fokus memperbanyak tes PCR dan tak memakai tes cepat antibodi untuk diagnosis. Apalagi, banyak tes cepat yang beredar ini tidak divalidasi,” katanya.
Selain itu, pemerintah mesti membuka jumlah harian tes PCR di tiap daerah sebagai ukuran kinerja. Jika data tes PCR tak dibuka, bisa jadi daerah minim kasus atau zona hijau terjadi karena tesnya kurang.
Tri Maharani, dokter emergensi di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, menilai, tes cepat memperlambat penanganan pasien. Tri sebelumnya positif Covid-19 menurut hasil tes PCR, padahal hasil tes cepat nonreaktif.
Menurut epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria, tak ada negara yang sukses mengendalikan Covid-19 dengan tes cepat antibodi untuk diagnosis. Dalam panduan WHO, standar yang dipakai tes molekuler dengan PCR. ”Di Korea Selatan dan Taiwan, yang disebut tes cepat ini pakai PCR, bukan serologi (antibodi). Di negara lain, tes PCR bisa selesai sehari,” katanya.
Pemerintah Indonesia disarankan tidak menjadikan tes cepat antibodi sebagai pilihan syarat penerbangan. Di Taiwan, syarat untuk terbang adalah hasil tes PCR paling lama tiga hari sebelum terbang.
Saran penghentian tes cepat antibodi sejalan dengan riset di The British Medical Journal edisi 1 Juli 2020. Kajian oleh Mayara Lisboa Bastos dari Research Institute of the McGill University Health Centre, Kanada, dan tim ini mengungkap kelemahan utama tes antibodi Covid-19 sehingga tidak bisa untuk diagnosis.
Oleh AHMAD ARIF/DEONISIA ARLINTA
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 3 Juli 2020