Kota-kota di Indonesia rentan terdampak bencana perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan, erosi pantai, dan penurunan permukaan tanah. Diperlukan perencanaan pembangunan yang lebih baik untuk menghadapi berbagai ancaman itu.
“Pemanfaatan dan penguatan ekosistem serta pendekatan alamiah perlu dilakukan. Pendekatan alamiah yang dimaksud melibatkan ekosistem sekitar,” kata Ketua Indonesia International Institute for Urban Resilience and Infrastructure Jan Sopaheluwakan pada Third International TWIN-SEA Workshop bertema “Low-Regret Adaptation for Social Transformation and Policy Changes on Climate and Disaster Risks in Coastal Areas in Indonesia and South East Asia”, Senin (14/3), di Jakarta.
Kemarin, sejumlah peneliti menawarkan konsep kota berketahanan, di mana ekosistem menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian. Konsep kota berketahanan menjadi salah satu langkah menekan risiko bencana pada masa depan. Kota diharapkan mengeliminasi segala ancaman dan membangun diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Cara yang ditawarkan adalah penataan kembali ruang kota,” kata Jan.
Peneliti Mangrove Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), John Haba, mengatakan, konsep kota berketahanan dapat dimulai, misalnya, dengan penanaman mangrove di pesisir. Mangrove dapat menjaga lingkungan dari dampak perubahan iklim.
Penataan ruang kota, khususnya Jakarta, dapat dimulai dari daerah pesisir. Penguatan daerah pesisir dapat menghalau banjir dan abrasi. Mangrove memiliki berbagai fungsi, antara lain, megah intrusi air laut, mencegah erosi dan abrasi pantai, serta tempat hidup dan sumber makanan beberapa jenis satwa.
Meski demikian, John menuturkan, penanaman mangrove perlu melibatkan peran pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lain. Selain mencegah potensi bencana alam yang mungkin muncul, beberapa aspek juga turut terdampak, seperti sebagai tempat pariwisata.
“Di Jakarta, penanaman mangrove dilakukan di daerah utara, tetapi kini semakin terdegradasi karena tanpa kontrol langsung pemerintah,” katanya.
Kondisi Jakarta
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Perencanaan Tata Ruang dan Lingkungan Oswae M Mungkasa mengatakan, adopsi program mitigasi bencana di Jakarta membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Saat ini, program jangka pendek pemerintah masih terfokus pada kebijakan penanganan bencana, bukan mengatasi masalah perubahan iklim.
“Peran peneliti dibutuhkan untuk membantu pemerintah mengusung implementasi program berbasis pendekatan alamiah,” katanya.
Saat ini, kata Oswae, mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah masih dalam lingkup penegakan hukum, perencanaan dan manajemen daerah aliran sungai, pembersihan saluran air, serta cara penanggulangan bencana. Karena itu, dalam perencanaan, pemerintah akan menggandeng berbagai pihak, seperti organisasi non-pemerintah, peneliti, sektor swasta, dan profesional, guna membuat kebijakan yang berkelanjutan.
Sementara itu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, konsep kota berketahanan dapat terwujud jika para pihak bekerja sama. Misalnya, pemerintah tidak hanya fokus pada masalah ekonomi, tetapi juga sosial dan ekologi. “Banyak pihak tertarik dan mendalami bidang masing-masing, tetapi tidak bekerja sama. Akibatnya, dampak perubahan iklim tak teratasi,” katanya. (C05)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Penguatan Ekosistem Tekan Risiko Bencana”.