Ilmu sosial di Indonesia mengalami kemandekan bahkan ada yang menyebut sedang kritis. Gejalanya antara lain tampak pada kontribusi para ilmuwan sosial dalam pengembangan ilmu, baik di tataran teoretis maupun metodologi, belum bisa dibanggakan.
Ilmuwan sosial di negeri ini masih terkesan terombang-ambing menentukan aliran atau mazhab yang ditawarkan para teoretikus asing. Selain itu, ketika berdebat tentang politik dan pemerintahan di Indonesia, rujukannya adalah Indonesianis non-Indonesia.
Demikian salah satu petikan dari pidato pengukuhan Dr Purwo Santoso sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Selasa (19/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Purwo Santoso mengungkapkan, dalam cara pandang yang populer, teori sosial diperlukan sebagai kebenaran dan fakta universal. Penerapannya ke dalam dunia nyata dipahami sebagi aktivitas keilmuan belaka. ”Padahal, penerapan teori ke dalam kehidupan masyarakat adalah suatu pertaruhan nasib. Penerapan paket-paket teori impor, apalagi yang belum dikaji-sesuaikan dengan kondisi negeri ini, sering memunculkan sejumlah persoalan baru,” kata Purwo.
Namun, banyak ilmuwan yang menepis pemahaman seperti di atas dengan mengatakan bahwa ilmu seharusnya tidak dibatasi oleh nasionalisme. ”Terhadap tepisan itu, saya hanya perlu mengingatkan bahwa ilmu sosial di negeri ini adalah ilmu tentang kita. Teori-teori yang dibangun oleh orang asing tentang kebersamaan kita, merupakan ketidaksadaran kita terhadap arti penting masa depan kita,” katanya.
Ladang penelitian
Menurut Purwo Santoso, Indonesia telah lama dijadikan lokasi penelitian para ilmuwan sosial mancanegara. Dari hasil penelitian mereka, telah dilahirkan berbagai teori besar. Ada teori politik aliran yang ditawarkan Herbert Feith dan Lance Castle, ada teori tentang kekuasaan masyarakat Jawa yang ditawarkan Benedict Anderson, dan berbagai teori lainnya.
Purwo mengatakan, universitas di Indonesia sepertinya masih menghadapi masalah. Boleh jadi komunitas ilmuwan di negeri ini mengalami sindrom kesulitan belajar dalam kebersamaan (collective learning difficulty), kalau bukan ketidakmampuan belajar dalam kebersamaan (collective learning disability).
”Universitas bisa saja menghasilkan sarjana, master, tenaga profesional dan doktor, tapi belum tentu memiliki kecanggihan dalam pembelajaran demi menghasilkan temuan-temuan baru,” kata Purwo.
Dalam konteks yang demikian itulah Purwo Santoso menawarkan pengembangan ilmu sosial yang transformatif. Istilah transformatif yang dia maksud adalah penegasan bahwa muara dari aktualisasi kegiatan ilmu, baik pendidikan maupun penelitian, adalah pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian ini bukanlah beban tambahan yang harus dipilih, tetapi justru menjadi basis pijakan ilmuwan. (TOP)
Sumber: Kompas, 20 April 2011