Semula, limbah radioaktif terbungkus dari berbagai rumah sakit dan industri hanya disimpan. Kini, limbah radioaktif itu bisa digunakan kembali hingga meningkatkan nilai ekonomi, memperpanjang masa guna zat radioaktif, dan meningkatkan keselamatan lingkungan.
Selama ini, semua jenis limbah radioaktif, baik yang berasal dari sisa aktivitas di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) maupun dari industri dan rumah sakit, hanya disimpan di Pusat Teknologi Limbah Radiaktif (PTLR) Batan.
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL–Limbah radioaktif dikemas secara khusus di lokasi penyimpanan sementara sebelum akhirnya ditimbun dalam tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir Batan Suryantoro, Rabu (8/5/2019), mengatakan, sejak Batan berdiri lebih dari 60 tahun lalu, ada sekitar 1.250 drum limbah radioaktif berkapasitas 200 liter yang disimpan di PTLR Batan di Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan.
Jumlah itu, termasuk limbah radioaktif terbungkus yang berasal lebih dari 3.000 sumber, baik industri maupun rumah sakit di seluruh Indonesia. Penggunaan nuklir untuk tujuan damai yang makin meluas membuat limbahnya pun makin meningkat hingga memerlukan pengelolaan dengan baik.
Limbah radioaktif bekas yang digunakan industri dan rumah sakit itu umumnya dalam kondisi terbungkus atau terkungkung dalam kapsul atau kontainer khusus hingga tingkat keamanan dan keselamatannya tinggi. Wadah khusus itu umumnya terbuat dari baja nirkarat (stainless steel) sehingga sumber radiaoktif tidak bersentuhan langsung dengan lingkungan luar.
Kontainer itu kemudian dibungkus lagi dengan peralatan (device) tambahan yang biasanya dilengkapi dengan materi timbal sebagai penahan. Pembungkus berlapis itu untuk memastikan zat radioaktif di dalamnya tetap aman meski peralatan tambahannya meleleh.
Sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif dan Peraturan Kepala Batan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penggunaan Kembali (Reuse) dan Daur Ulang (Recycle) Zat Radioaktif Terbungkus yang Tidak Digunakan, zat radioaktif itu tak hanya bisa disimpan.
“Saat ini, yang sudah dilaksanakan di PTLR baru penggunaan kembali (reuse) limbah radioaktif, sedang daur ulang (recycle) masih dalam kajian dan penjajakan teknologinya,” kata Kepala Subbidang Keselamatan Kerja dan Proteksi Radiasi, PTLR Batan, Moch Romli, Kamis (16/5/2019).
Suryantoro menambahkan, penggunaan kembali limbah radioaktif itu merupakan bagian dari prinsip proteksi radiasi, yakni menjamin keselamatan masyarakat terhadap potensi bahaya limbah radioaktif, baik saat ini maupun yang akan datang. Untuk itu, limbah radioaktif harus dikelola sebaik-baiknya.
Prosedur
Kepala PTLR Batan Husen Zamroni mengatakan proses penggunaan kembali limbah radioaktif terbungkus itu tidak bisa dilakukan PTLR secara serta merta, tetapi harus ada permintaan dari calon pengguna, penilaian ketersediaan dan kondisi zat radioaktif yang akan dipakai lagi oleh PTLR, hingga izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA–Industri minyak dan gas banyak menggunakan zat radioaktif sesium-137 (Cs-137) untuk mengukur ketinggian fluida di dalam tangki.
Limbah radioaktif terbungkus yang sudah digunakan kembali adalah sesium-137 (Cs-137). Zat ini biasa digunakan industri untuk mengukur ketinggian fluida atau cairan dalam tangki.
Permintaan penggunaan kembali itu datang dari Pusat Pendidikan dan Latihan Batan yang butuh Cs-137 dengan aktivitas radioaktif tertentu untuk dua keperluan berbeda, yaitu praktikum kedaruratan nuklir dan pelatihan pengukuran tinggi fluida di level laboratorium.
Pembelian zat radioaktif Cs-137 baru dengan aktivitas radioaktif sebesar 151 miliCurie (mCi) butuh biaya sekitar Rp 100 juta-Rp 200 juta. Namun dengan penggunaan kembali limbah radioaktif hanya diperlukan dana sekitar Rp 10 juta.
Zat radioaktif lain yang limbahnya sudah digunakan lagi adalah kobalt-60 (Co-60) yang biasa dipakai di rumah sakit untuk radioterapi penderita kanker. Radioaktivitas Co-60 baru yang digunakan rumah sakit untuk terapi umumnya memiliki aktivitas sekitar 8.000-12.000 Ci. Saat aktivitasnya tinggal 2.500 Ci, zat itu tidak akan efektif lagi untuk radioterapi hingga rumah sakit akan mengirimnya ke PTLR sebagai limbah.
Permintaan penggunaan kembali Co-60 itu datang dari Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) Batan untuk kalibrasi dosimeter. Di rumah sakit, dosimeter digunakan untuk mengukur paparan radiasi yang diterima pasien yang menjalani radioterapi. Alat itu harus rutin dikalibrasi untuk memastikan paparan radiasi yang diterima pasien masih dalam batas aman.
Menurut Husen, harga Co-60 baru dengan aktivitas sebesar 2.500 Ci itu bisa mencapai Rp 7 miliar. Namun dengan penggunaan kembali, pemohon hanya mengeluarkan uang sekitar Rp 40 juta.
“Penggunaan kembali Co-60 tak hanya menghemat anggaran negara, tetapi juga berpotensi menghasilkan penghasilan negara bukan pajak sebesar Rp 300 juta per tahun,” tambah Romli.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR–Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi, didampingi Direktur Rumah Sakit Umum Provinsi NTB, dr Hamzi Fikri, meninjau ruang Radioterapi di Rumah Rumah Sakit Umum Provinsi NTB. Zat radioaktif yang banyak digunakan dalam radioterapi adalah kobalt-60 (Co-60).
Manfaat
Selama hampir dua tahun terakhir penggunaan kembali limbah radioaktif terbungkus di Indonesia, zat yang sudah digunakan baru Cs-137 dan Co-60. Namun penggunaan zat lain terbuka sepanjang ada bahannya di PTLR dan besaran aktivitas radioaktif materi yang tersedia sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Selain menghemat anggaran negara, penggunaan kembali limbah radioaktif terbungkus itu juga menghemat devisa negara. Hal itu karena sebagai besar zat radioaktif yang digunakan di Indonesia diimpor dari negara lain.
Pemakaian kembali limbah radioaktif itu otomatis memperpanjang masa guna zat radioaktif. Material yang harusnya sudah masuk penyimpanan, ternyata masih bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Upaya ini, lanjut Husen, juga meningkatkan keselamatan lingkungan karena membantu mengurangi akumulasi jumlah limbah radioaktif di Indonesia. Dalam pembelian zat radioaktif dari luar negeri, lembaga pengguna di Indonesia biasanya akan meminta komitmen untuk mengembalikan limbahnya ke negara asal. Komitmen itu juga terus didorong Bapeten.
Masalahnya, penggunaan zat radioaktif bisa memakan waktu puluhan tahun. Setelah zat radioaktif itu sudah tidak bisa digunakan lagi dan akan dikirim kembali ke negara asal, perusahaan penyuplainya sudah tidak ada. Tak jarang, produsen zat radioaktif itu juga sudah tutup hingga tidak bisa dikirim kembali. Akibatnya, limbah tersebut ditampung di PTLR.
Meski pengguna kembali limbah radioaktif terbungkus itu saat ini masih terbatas pada lembaga-lembaga di Batan, sejumlah perguruan tinggi sebenarnya sudah mengajukan permohonan pemakaian kembali limbah tersebut untuk keperluan pendidikan dan penelitian. Namun, mereka umumnya kesulitan mendapat izin dari Bapeten karena belum memiliki petugas proteksi radiasi.
Sementara permintaan dari industri ada, namun aktivitas radioaktif yang dibutuhkan pemohon terlalu kecil. “Ke depan, permintaan sumber radioaktif dari limbah radioaktif terbungkus dengan aktivitas yang sangat kecil tidak menutup kemungkinan bisa dipenuhi, terutama jika teknologi daur ulang (recycle) limbah radioaktif sudah kukuh,” kara Romli.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 10 Juni 2019