LIPI menggunakan penginderaan jauh dan teknologi untuk menghasilkan buku panduan monitoring, spreadsheet template, dan aplikasi berbasis Android bernama MonMang.
Pemantauan dan pengelolaan mangrove yang terstruktur dan berkala sangat penting untuk membantu memetakan serta menjaga keberlangsungan ekosistem mengrove. Namun, kegiatan monitoring mangrove kerap menyita waktu dan biaya sehingga dibutuhkan dukungan aplikasi yang mudah digunakan dan efisien.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), I Wayan Eka Dharmawan, memaparkan, keterbatasan waktu dan biaya merupakan kendala yang sering dijumpai saat proses monitoring mangrove. Hal ini karena zonasi dan luas area mangrove yang sangat kompleks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Mangrove itu bukan hutan yang homogen dan memiliki zonasi berdasarkan salinitas dan geomorfologi pantainya. Jenis mangrove di bagian depan akan berbeda dengan yang ada di bagian belakang karena airnya semakin tawar,” ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (6/8/2020).
Agar kendala tersebut dapat diminimalkan, LIPI memanfaatkan penginderaan jauh dan teknologi terkini yang mudah diikuti, tetapi tetap berbasis ilmiah. Pemanfaatan tersebut menghasilkan buku panduan monitoring, spreadsheet template, dan aplikasi berbasis Android bernama MonMang.
Aplikasi MonMang dapat digunakan untuk mengambil data dan melakukan pengukuran saat kegiatan monitoring mangrove di lokasi. Dalam aplikasi telah disediakan tools sesuai paramater struktur komunitas, seperti kepadatan, ukuran morfologi, frekuensi, dominasi, dan indeks kesehatan mangrove.
Pada akhirnya aplikasi ini dapat memudahkan surveior atau peneliti karena tidak perlu menyalin data kembali seusai memonitor mangrove di lokasi. Analisis kesehatan mangrove pun dapat dilakukan dengan lebih cepat, efektif, dan efisien.
”Kami berharap tools ini bisa dipakai bersama karena akan ada satu sumber dari basis data dengan parameter yang sama. Pengelolaan mangrove juga akan lebih mudah jika datanya seragam,” tutur Eka.
Andarta Khoir dari Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI mengatakan, dengan menggunakan aplikasi MongMang, seluruh data yang diambil bisa tersimpan di dalam basis data yang ada di ponsel. Data yang berupa berkas (file) berformat Excel dan foto dapat dipindahkan ke perangkat komputer atau laptop.
”Dengan MongMang kita dapat dengan mudah melakukan pengukuran kanopi. Jadi, kita tidak perlu mengunduh foto, menggeser sidebar dengan aplikasi lain. Jadi, MonMang sangat mendukung dokumentasi,” tambahnya.
Kondisi kritis
Kepala Seksi Reboisasi Hutan Mangrove dan Pantai, Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bagus Dwi Rahmanto mengatakan, ekosistem mangrove di Indonesia seluas 3,3 juta hektar. Dari jumlah tersebut, seluas lebih dari 630.000 hektar atau 19,26 persen mangrove masuk kondisi kritis.
Bagus menyatakan, kerusakan akibat perubahan penggunaan lahan mangrove dapat diketahui melalui kegiatan monitoring. Hasil monitoring juga dapat menjadi landasan untuk memperbaiki ekosistem mangrove.
Menurut Center for International Forestry Research (Cifor), saat ini ekosistem mangrove Indonesia mengalami tekanan dengan ancaman degradasi tinggi seluas 52.000 hektar per tahun. Ancaman tersebut diakibatkan oleh alih fungsi lahan, pencemaran limbah, penebangan liar, dan meningkatnya laju abrasi.
Dari permasalahan tersebut, Direktorat Konservasi Tanah dan Air KLHK terus mendorong agar pemerintah daerah menetapkan mangrove sebagai kawasan lindung setempat yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pengembangan ekowisata juga dapat dilakukan sebagai upaya pemanfaatan berkelanjutan.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2020