Rabies menyimpan keunikan. Penyakit infeksi itu bisa dicegah, tetapi ternyata justru masih menyebabkan kematian puluhan ribu manusia setiap tahun. Setiap mereka yang menderita penyakit rabies, bisa dipastikan berujung pada kematian.
Rabies termasuk penyakit infeksi yang sulit dideteksi, tidak seperti penyakit infeksi lain. Banyak penderita hanya bertahan dalam 5-10 hari. Masa inkubasi kurang dari satu pekan hingga tiga bulan, bahkan lebih dari setahun, tergantung lokasi luka gigitan dari pusat saraf otak, parah tidaknya luka gigitan, dan saraf di area gigitan.
Namun, banyak negara tak berinvestasi untuk mengendalikan penyakit tersebut. Hal itu kembali ditegaskan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Margaret Chan pada konferensi dunia “Eliminasi Global Rabies pada Manusia yang Ditularkan Melalui Anjing: Kini Saatnya”, 10 Desember 2015, di Geneva, Swiss.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kunci dalam pengendalian rabies yang harus dijadikan prioritas adalah membasmi rabies dimulai dari sumbernya. Epidemi rabies pada manusia, menurut Margaret, hanya bersifat insidental. Anjing diakui sebagai spesies yang berperan pada siklus infeksi yang terjadi.
Dengan mengeliminasi setidaknya 70 persen populasi anjing, diyakini bisa memutus siklus transmisi atau penularan virus mematikan itu pada anjing, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Perlakuan lebih manusiawi adalah dengan melaksanakan vaksinasi rabies pada anjing daripada harus memusnahkan anjing liar. Pada dasarnya, vektor rabies adalah semua hewan berdarah panas, termasuk tikus, kelelawar, kucing, dan hewan-hewan liar.
Tekad untuk menghapuskan kematian pada manusia akibat rabies ditargetkan terwujud pada 2030. “Kita sudah memiliki bukti-bukti, pengalaman, argumen-argumen, dan berbagai peralatan teknis, insentif, mekanisme pendanaan inovatif, serta kemitraan,” kata Margaret melalui siaran pers dalam situs resmi WHO.
Isu kesehatan tak bisa dipisahkan dari isu keberlanjutan pembangunan. Menurut WHO, rabies menyebabkan puluhan ribu kematian setiap tahun, 95 persennya warga Asia dan Afrika. Sekitar 40 persen korban gigitan hewan yang diduga mengidap rabies terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Tingginya angka kematian akibat rabies terkait kondisi kemiskinan warga di pedesaan.
Di Indonesia, kasus rabies masih terjadi, antara lain di Bali dan Sulawesi. Menurut catatan Kompas, di Bali, pada 2008-2015, 163 orang meninggal karena rabies. Pada 2015, ada 42.630 kasus gigitan hewan penular rabies dan di 280 desa di Bali ditemukan kasus positif rabies.
Sejauh ini, pengobatan mereka yang terinfeksi rabies dengan serum dan vaksin amat mahal. Itu pun belum tentu menyelamatkan nyawa. Setiap tahun, lebih dari 15 juta orang di dunia menerima vaksinasi setelah gigitan, itu diperkirakan bisa mencegah ratusan ribu kematian akibat rabies.
Maka, masalah utama terletak pada ketersediaan dan keterjangkauan obat, terutama bagi kaum miskin. Padahal, risiko tertinggi ada pada kelompok kaum miskin di Asia dan Afrika. Harga satu dosis 40-50 dollar AS, sedangkan di kawasan miskin itu, pendapatan warga 1-2 dollar AS per hari. “Kita harus membuat biaya pengobatan lebih terjangkau,” ucap Margaret.
Saat ini, sekitar 1,7 miliar dollar AS digunakan untuk perawatan kasus gigitan dan tambahan 1,5 miliar dollar AS bagi biaya tak langsung pasien. Akhirnya, eliminasi penyakit rabies tak bisa dipisahkan dari komitmen pada isu pembangunan berkelanjutan: leaves no one behind (tak ada yang tertinggal).(ISW)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Gigitan yang Berujung Maut”.