Peran masyarakat lokal terpinggirkan dalam pengelolaan rawa gambut berkelanjutan guna mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan. Padahal, gambut bisa tetap lestari meski ada pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi.
Hal itu mengemuka pada International Experts Roundtable Discussion “Solusi Jangka Panjang Krisis Kebakaran dan Asap di Indonesia Berfokus Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan”, Sabtu (14/11), di Jakarta.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan menilai, pemerintah menciptakan ketidakadilan akses pada sumber penghidupan, termasuk sektor pemanfaatan gambut. “Jika untuk perusahaan, pemerintah memikirkan siklus bisnis agar usaha tak mati. Namun, saat warga ingin mengelola lahan, pemerintah membatasi,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketimpangan akses perusahaan dan masyarakat tampak dari pengelolaan sumber daya hutan. Sekitar 98 persen izin pemanfaatan hutan dikantongi pelaku usaha dengan luas lahan 31.217 hektar, sedangkan luas lahan hutan yang diusahakan warga hanya 649.000 hektar (Kompas, 16/10).
Karena itu, pemerintah diminta adil dalam pengelolaan gambut berkelanjutan. Pengelolaan oleh warga bisa jadi solusi masalah pengeringan gambut yang memicu kebakaran lahan. Pemerintah dapat memberdayakan warga tanpa mengorbankan kelestarian gambut karena pengelolaan non-pengeringan.
Direktur Pusat Studi Kebencanaan Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, praktik itu ditunjukkan para petani sagu di Kepulauan Meranti, Riau. Aktivitas petani di sana, rawa gambut bisa ditanami sagu yang menjaga ekosistem gambut basah mengingat kondisi gambut basah cocok bagi sagu. Kebakaran sulit terjadi jika gambut basah. Selain itu, sagu berkembang dengan anakan tumbuh mengelilingi pohon induk sehingga daerah gambut hijau meski pohon sagu induk ditebang saat panen.
Budidaya sagu menghidupi banyak warga. Petani dengan kebun seluas 30 hektar dan punya kilang sagu meraup pendapatan lebih dari Rp 20 juta per bulan, dan pendapatan pekerja kilang sagu Rp 2,2 juta per bulan. “Lebih dari 50 persen warga Desa Sungai Tohor, Pulau Tebing Tinggi, dan Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, menggantungkan hidup pada sagu,” kata Haris.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, perspektif peran masyarakat dan pandangan korporasi sudah dicatat. “Masalahnya, bagaimana agar jangan cuma ada disinsentif dan hukuman, tetapi bagaimana insentifnya,” ujarnya.
Kini, pemerintah mengkaji apa perlu peraturan pemerintah terkait program pencegahan kebakaran hutan dan lahan, pemulihan hutan dan lahan pasca kebakaran, serta pemulihan gambut. Dua peraturan pemerintah tentang hal itu sedang disiapkan.(JOG)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Masyarakat Jangan Ditinggalkan”.