PT Bio Farma (Persero) berperan strategis di dalam negeri ataupun di tataran global dalam penyediaan vaksin. Badan usaha milik negara ini menjadi pelopor dan mengawal kemandirian vaksin, terutama di negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam upaya melindungi warga dari ancaman penyakit menular.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Peneliti (kiri) dari PT Bio Farma (Persero) memandu peserta lokakarya dari negara- negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang meninjau fasilitas pengembangan dan penelitian Bio Farma di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (2/10/2019)
Sirene mobil polisi meraung-raung melintasi Jalan Pasteur, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (2/10/2019). Mobil polisi itu mengawal bus yang membawa rombongan 45 orang anggota delegasi dari 16 negara OKI. Sesaat kemudian rombongan memasuki pelataran kantor Bio Farma.
Selain dari Indonesia, delegasi OKI berasal dari Nigeria, Sudan, Bangladesh, Senegal, Uganda, Palestina, dan Afganistan. Delapan negara lain adalah Maladewa, Brunei Darussalam, Malaysia, Chad, Togo, Gambia, Turki, dan Mozambik.
Rombongan ini baru saja meninjau kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, dan sejumlah puskesmas di kawasan Soreang. Setelah mendapat paparan terkait dua ruang yang akan ditinjau, rombongan dipandu menuju tempat pengemasan dan distribusi, serta fasilitas pengembangan dan penelitian Bio Farma.
Kunjungan itu berkaitan dengan penunjukan Indonesia sebagai pusat unggulan dalam pengembangan produk bioteknologi dan vaksin dari negara-negara OKI pada Desember 2017. Tahun lalu, pemerintah menunjuk Bio Farma sebagai laboratorium dan fasilitas penelitian untuk bidang tersebut.
Ke-45 orang itu adalah peserta lokakarya yang digelar Kementerian Kesehatan bertajuk ”Cold Chain Vaccine Management” pada 1-2 Oktober 2019. Bio Farma menjadi tuan rumah. Rombongan kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk melakukan peninjauan. Kelompok pertama diantar ke bagian cold chain system (sistem rantai dingin).
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA–Asisten Sekretaris Jenderal OKI Askar Musinov (kanan) meninjau fasilitas pengembangan dan penelitian PT Bio Farma (Persero) di sela kegiatan lokakarya peserta dari negara-negara OKI di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (2/10/2019).
Para anggota delegasi memasuki koridor dan berhenti di depan pintu cold room. Di situ terpampang tulisan bagian distribusi, temperatur 2-8 derajat celsius, dan aturan bekerja dalam cold room maksimal 15 menit. ”Di sini merupakan tempat penyimpanan vaksin. Dari sini vaksin didistribusikan ke dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, sampai puskesmas,” kata Kepala Seksi Operasional Pengiriman Bio Farma Hendra Suhendar yang memandu kelompok.
Peserta bergiliran masuk ke dalam cold room untuk melihat secara langsung vaksin yang sudah diproduksi, dikemas, dan disimpan di ruangan tersebut. Turut meninjau Asisten Sekretaris Jenderal OKI Askar Musinov bersama Wakil Ketua Kelompok Produsen Vaksin OKI yang juga Direktur Operasi Bio Farma M Rahman Roestan, Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan Agusdini Banun Saptaningsih, serta Corporate Secretary Bio Farma Bambang Heriyanto.
”Lokakarya ini merupakan rangkaian kegiatan tahap awal setelah penunjukan Indonesia sebagai Center of Excellence dalam pengembangan bioteknologi dan vaksin. Indonesia menjadi negara rujukan karena Bio Farma merupakan salah satu produsen vaksin terbesar di dunia. Di lingkup OKI, Indonesia merupakan satu dari dua negara anggota OKI yang produknya mendapat pengakuan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia),” kata Agusdini.
Sampai saat ini, BUMN di bidang kesehatan yang berdiri tahun 1890 ini telah mengekspor vaksin ke lebih dari 140 negara. Di antaranya 50 negara dari total 57 negara anggota OKI. Di lingkup OKI, hanya tujuh negara yang mempunyai pabrik vaksin, yaitu Indonesia, Iran, Arab Saudi, Senegal, Tunisia, Maroko, dan Mesir. Namun, dari tujuh negara itu, produksi vaksin yang diakui WHO hanya dari Bio Farma (15 vaksin) dan Senegal (1 vaksin).
Hilir
Agusdini menuturkan, materi lokakarya yang diberikan dipilih mulai dari hilir, yakni manajemen rantai dingin vaksin. Penyebabnya, negara-negara anggota OKI masih tertinggal jauh dalam produksi vaksin, termasuk pengetahuan dalam distribusi vaksin. Hal ini dipandang penting. Negara penerima impor vaksin harus bisa menjaga rantai dingin dengan baik. Dengan demikian, saat vaksin didistribusikan dari tingkat pusat, ke pelosok, hingga ke warga penerima, kualitas vaksin tetap terjaga baik.
Dalam lokakarya, peserta diajak melihat langsung proses pendistribusian vaksin dari pabrik (Bio Farma) ke dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, hingga puskesmas, sekaligus melihat sarana dan prasananya seperti instalasi farmasi, ruang pendingin, genset, kendaraan khusus pengangkut vaksin, dan sumber daya manusianya. Dalam hal ini distribusi di Kabupaten Bandung.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Sejumlah peserta lokakarya meninjau ruang tempat penyimpanan vaksin PT Bio Farma (Persero) di Bandung.
Manajemen rantai dingin menjadi topik bahasan mengingat dalam pendistribusian vaksin tidak boleh terpapar suhu ekstrem, baik di atas maupun di bawah dari suhu yang dipersyaratkan, yakni 2-8 derajat celsius, karena kualitas vaksin akan menurun.
Kegiatan Center of Excellence, juga lokakarya Cold Chain Management System di Bandung ini akan dilaporkan oleh Pemerintah Indonesia dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Menteri Kesehatan Negara Anggota OKI, Islamic Conference of Health Ministers ke-7, Desember 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
”Peta jalan pengembangan pusat unggulan vaksin dan produk bioteknologi untuk jangka waktu 10 tahun akan disampaikan dalam forum ini,” kata Agusdini. Bambang Heriyanto menuturkan, pelatihan ini akan terus berkembang seiring peningkatan kompetensi dari setiap anggota OKI. Tujuan akhir pembentukan pusat unggulan adalah tercapai kemandirian pembuatan vaksin.
Menurut Rahman, dalam program selanjutnya Bio Farma akan melakukan transfer teknologi ke negara-negara anggota OKI. ”Yang saat ini sudah berjalan dengan Arab Saudi terkait vaksin imunisasi dasar, juga dijajaki dengan Senegal. Pihak Bio Farma memberikan supervisi, juga mengirimkan produk setengah jadi, bahan aktifnya dikirim ke sana (Arab Saudi),” tutur Rahman.
Untuk menemukan vaksin jenis baru dibutuhkan waktu 10 hingga 20 tahun.
Dari sisi kapasitas produksi, saat ini Bio Farma mencapai 3,2 miliar dosis. Sekitar 50 persen untuk ekspor, sebagian besar ke negara berkembang, dan kawasan Timur Tengah. Vaksin yang diekspor, antara lain, adalah antidifteri, tetanus, pertusis, dan hepatitis B.
Vaksin jenis baru
Askar Musinov mengatakan, dalam kolaborasi ini diharapkan para peneliti mampu menemukan vaksin jenis baru yang dapat mengatasi penyakit menular dengan prevalensi tinggi di negara-negara OKI. Penyakit menular yang dimaksud, antara lain, adalah malaria, HIV, demam berdarah, dan ebola.
Untuk menemukan vaksin jenis baru dibutuhkan waktu 10 hingga 20 tahun. Dengan kolaborasi peneliti antarnegara OKI ini diharapkan penemuan itu dapat dicapai lebih cepat.
Tantangan kesehatan global semakin berat termasuk di wilayah negara-negara OKI. Akses untuk mendapatkan layanan kesehatan termasuk pemberian vaksin dan obat-obatan, ataupun produk kesehatan lain menjadi penting.
Dalam hal ini Bio Farma berperan besar dan mampu membuat bangga Indonesia. Salah satunya dengan menjadi pelopor, dan mengawal kemandirian vaksin di negara-negara berkembang.–SAMUEL OKTORA
Sumber: Kompas, 2 November 2019