Zaman berubah, tantangan menjadi ayah makin berat. Namun, kesiapan jadi ayah tetap rendah. Negara perlu segera hadir memperkuat peran ayah membangun keluarga agar kualitas manusia Indonesia terselamatkan.
Rendahnya kesiapan jadi ayah selaras dengan kurangnya kesadaran membangun pernikahan. Konsekuensi bahwa pernikahan kemungkinan besar menghasilkan keturunan yang menuntut tanggung jawab nafkah lahir dan batin belum sepenuhnya dipahami, apalagi disiapkan.
“Pasangan muda masih fokus menyiapkan hari pernikahan, kurang memikirkan perencanaan membangun keluarga serta cara menjalaninya,” kata psikolog hubungan romantis Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Pingkan CB Rumondor, di Jakarta, Senin (13/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor, Diah Krisnatuti, menambahkan, masyarakat masih ragu memperkenalkan peran ayah kepada anak laki-laki yang akan menikah. Pesan pernikahan lebih banyak diberikan kepada anak perempuan agar mereka mampu jadi istri dan ibu yang mengurus anak dan rumah tangga.
“Untuk anak laki-laki, pesannya umumnya hanya terkait aspek ekonomi agar mereka bertanggung jawab memberi nafkah materi, tidak termasuk di dalamnya nafkah kasih sayang untuk anaknya kelak,” katanya.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang Kualitas Pengasuhan Anak Indonesia 2015 menunjukkan hal itu. Hanya seperempat calon ayah yang mencari informasi pengasuhan anak sebelum menikah. Saat jadi ayah, mereka yang mau belajar pengasuhan pun kurang dari 40 persen.
“Mereka yang mencari pengetahuan pengasuhan pun umumnya kelompok terdidik dan kelas ekonomi menengah,” ujar Diah.
Keengganan belajar dan menyiapkan diri jadi ayah membuat pola pengasuhan ayah umumnya meniru pola pengasuhan ayah atau keluarga mereka sebelumnya. Cara itu berisiko karena belum tentu sesuai dengan tantangan zaman dan rentan mengulang kesalahan pengasuhan yang terjadi sebelumnya.
Kian berat
Tantangan menjadi ayah saat ini jauh berbeda dengan beberapa dekade lalu. Di masa lalu, ayah adalah sosok yang ditakuti, tetapi kini ayah dituntut jadi sahabat anak. Menguatnya kesetaraan jender yang membuat peran ibu di masyarakat makin kuat menuntut ayah lebih banyak ikut terlibat dalam urusan domestik.
Perubahan budaya itu terjadi di tengah meningkatnya tuntutan ekonomi keluarga, ketidakstabilan kondisi sosial ekonomi, kelelahan akibat bekerja dan perjalanan bekerja, hingga banjirnya informasi yang membuat pilihan makin banyak.
Dengan segala tantangan itu, ayah dituntut lebih banyak meluangkan waktu berbincang dengan anaknya agar anak punya ikatan emosi lebih kuat. “Ayah perlu menyediakan waktu mengobrol hangat dan bermain dengan anak,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani.
Namun, mengobrol dengan anak sepertinya masih jadi persoalan besar banyak ayah. Survei KPAI 2015 menyebut hampir separuh ayah hanya punya waktu berbincang dengan anaknya selama satu jam sehari. Materi perbincangan pun umumnya sangat terbatas, tidak menyentuh substansi, seperti menanyakan sudah makan atau belum, pelajaran dan teman di sekolah, pekerjaan rumah, atau nilai ujian.
Menyikapi kondisi itu, Diah menilai, negara perlu campur tangan. “Negara harus berperan besar kurangnya peran ayah dalam pengasuhan berimbas besar bagi bangsa,” katanya. (MZW)
Sumber: Kompas, 14 November 2017