Project Loon ciptaan Google ternyata tidak hanya dianggap merugikan industri telekomunikasi jika diterapkan di tanah air. Balon penghantar internet itu diperkirakan akan menjadi rayuan Google untuk lolos dari aturan bisnis IT di Indonesia, termasuk penyediaan data center.
Dalam kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat, khususnya saat bertemu bos-bos teknologi di Silicon Valley, Presiden Jokowi direncanakan akan melihat Project Loon yang dipamerkan Google. Indonesia, yang terdiri dari banyak pulau, dikabarkan tertarik dengan project ini.
“Rasanya aneh saja. Google belum memenuhi syarat sebagai operator jaringan tapi mau diajak kerja sama. Ini bahaya jika (perusahaan) asing terus-terus diberikan ‘karpet merah’ tetap melupakan perjuangan pemain lokal,” ujar pengamat dari Indotelko Forum, Doni Ismanto, kepada Viva.co.id, Selasa, 20 Oktober 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Doni, selama ini sudah ada upaya dari operator dan pemerintah untuk menyediakan akses broadband ke seluruh wilayah Indonesia, bernama Palapa Ring. Ada baiknya jika hal ini menjadi fokus pemerintah ketimbang meloloskan kerja sama Project Loon buatan Google.
“Bersabar sedikit dengan proyek Palapa Ring. 2018 seluruh kabupaten akan terkoneksi. Jadi, kenapa kita capek-capek bangun, terus Google datang dengan teknologi akses yang seolah-olah gratis, padahal bikin menderita pemain lokal,” kata dia.
Kekhawatiran yang sama juga dilontarkan pengamat telekomunikasi dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi. Dia menyoroti rayuan yang akan dilancarkan Google terkait Project Loon.
“Google tampaknya akan bawa isu penyebaran internet dan data center. Penyebaran internet akan di bawa ke arah ijin balon wifi atau HAPS. Sedangkan data center akan diminta untuk tak lagi diwajibkan dibuka di Indonesia. Jokowi baiknya berhati-hati. Dengarkan saja dan jangan buat keputusan apapun,” kata Heru.
Di sisi lain, operator telekomunikasi menganggap jika teknologi Google justru merupakan kabar baik. Meski belum diketahui mekanisma dan bisnis model yang akan diterapkan, mereka menganggap sah-sah saja teknologi itu diterapkan.
“Kalau ada alternatif teknologi untuk menjawab tantangan akses broadband di Indonesia, itu tentu hal yang positif. Itu berita bagus untuk negara ini, siapapun yang menawarkan,” ujar CEO XL Axiata, Dian Siswarini.
Dian sendiri mengakui, sulit untuk memenuhi kebutuhan akses internet ke 13 ribu pulau lebih di Indonesia jika hanya menggunakan terestrial network. Pun dengan rencana Palapa Ring yang dianggap butuh banyak investasi.
“Project Loon ini sendiri masih dalam tahap trial di Google. Jadi kita belum tahu bisnis modelnya seperti apa,” ujar Dian. (ase)
Siti Sarifah Alia, Agus Tri Haryanto, Amal Nur Ngazis
Sumber: VIVA.co.id -Selasa, 20 Oktober 2015
————–
Kontroversi Balon Udara Google di Langit Indonesia
Tiga operator selular terbesar Indonesia, menyepakati kerja sama dengan raksasa internet dunia Google untuk menyediakan akses internet melalui balon udara yang dinamakan Project Loon. Sesuai kesepakatan, Telkomsel, Indosat, dan XL, bersama Alphabet (induk usaha Google), akan segera menguji coba balon udara yang akan memancarkan sinyal selular di langit Indonesia, tahun depan.
Misinya cukup jelas, memberikan akses internet ke masyarakat yang berada di daerah pelosok yang tidak/belum terjangkau jaringan operator selular maupun fixed line. Balon udara yang berperan layaknya BTS (base transceiver station) akan memberi akses WiFi dengan kecepatan maksimum 10Mbps.
Namun proyek “terpuji” itu dicium berbeda oleh pengamat telekomunikasi Heru Sutadi. Kepada Selular.ID (29/10/2015), Heru mengungkapkan keprihatinannya. “Saya sangat menyayangkan langkah yang diambil The Big Three. Keputusan tersebut terlalu prematur,” ungkapnya.
Proyek tersebut baru mencuat dan dibahas pekan lalu, dan sepengetahuannya tidak semua operator setuju. Tapi tiba-tiba sudah ditandatangani di California, Amerika Serikat. Heru mengaku terkejut.
Heru mengklaim bahwa keputusan itu tidak didahului dengan kajian teknis, bisnis, dan legal. Serta tidak dihitung untung-ruginya. “Biasanya kalau sudah dikaji, pemerintah pasti mempublikasikannya. Nah ini kan belum.”
Selama ini ada beberapa proyek yang dikaji, diakui Heru berakhir berantakan. Seperti LTE yang diuji coba di frekuensi 900MHz, juga Wimax. Padahal itu kan hanya uji coba, tapi didesak untuk digelar, dan hasilnya tidak maksimal.
“Apalagi ini kan perusahaan asing. Peraturannya harus jelas. Apa saja batasan-batasan Google untuk beroperasi di negara lain. Semuanya harus dibahas dan dikaji bersama-sama,” ujarnya.
Sebelum diputuskan, harusnya pemerintah mengkaji proyek tersebut bersama penyelenggara lain seperti operator telekomunikasi, ISP (internet service provider), APJI (asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia), ATSI (asosiasi telepon seluruh Indonesia), dan lembaga lain yang terkait.
Baru kemudian dibuat bagaimana pengaturannya. Siapa saja yang menyediakan peralatannya. Bagaimana mekanisme trafiknya, apakah akses harus ke AS dulu. Tidak lupa Heru mempertanyakan apa saja keuntungan Project Loon, dan apa kerugiannya. Kalau operator hanya dipakai frekuensinya saja, sementara Google yang menyediakan konten dan layanan, menurut Heru tidak seimbang. “Kita (Indonesia) dapat apa?”
Semua harus ada dasar akademisnya.
Karena sudah terlanjur disepakati, Heru berharap Project Loon hanya bersifat sementara, bukan permanen. Karena pada akhirnya, sesuai keputusan Rencana Pita Lebar Indonesia, pemerintah harus menyediakan jaringan fixed line ke seluruh nusantara, minimal di ibukota Kabupaten.
“Jangan karena sudah ada balon udara, rencana pita lebar jadi terbengkalai,” pungkasnya.
Oleh Khoirunnisa
Sumber: Selular.ID – 29 October 2015