Letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1982 menjadi titik balik pemantauan gunung api di Indonesia secara modern. Sebelumnya, Galunggung tidak terpantau sehingga tidak ada peringatan sama sekali kepada publik.
Kini, Galunggung, seperti gunung aktif lain di Indonesia, terpantau rutin dengan alat lengkap. ”Waktu Galunggung meletus itu, saya Direktur Direktorat Vulkanologi (kini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi),” kata Adjat Sudradjat, di Galunggung, Minggu (27/4). Adjat bersama sejumlah peneliti Badan Geologi memberikan kuliah lapangan mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Adjat mengakui, saat itu Direktorat Vulkanologi tak siap mengantisipasi karena belum ada pos pemantauan atau alat-alat pemantau. ”Letusan Galunggung membuka mata pemerintah untuk mulai memperhatikan bahaya gunung api. Pos pemantauan dibangun, alat dimodernisasi.”
Syamsul Rizal, mantan petugas vulkanologi saat Galunggung meletus, mengatakan, sebulan sebelum letusan sebenarnya ada pengecekan gunung. ”Tak ada kegempaan sama sekali. Disimpulkan Galunggung tidur. Sekarang kami tahu, gunung api sebelum meletus biasanya sangat tenang. Saat itu, kami bahkan belum tahu tremor gunung api.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Letusan Galunggung hingga sembilan bulan saat itu sangat membingungkan petugas. ”Kami sama sekali tidak tahu bagaimana ujung dari krisis Galunggung. Semua orang di vulkanologi kebingungan karena memang belum mengerti,” kata dia.
Letusan Galunggung sejak 5 April 1982 menyemburkan abu vulkanik dahsyat. Abu menggelapkan Tasikmalaya, Bandung, Bogor, hingga Jakarta. Bahkan, lontaran abu memaksa pesawat Boeing 747 British Airways mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, karena mesin rusak pada 24 Juni 1982.
Pendidikan bencana
Adjat mengatakan, meski pemantauan gunung api di Indonesia maju pesat, modernisasi alat/keahlian petugas pemantau perlu dilanjutkan. Pendidikan kebumian, termasuk mitigasi bencana, pada masyarakat sekitar gunung juga mutlak. ”Jika mengacu periode keterulangan letusan Galunggung 60-an tahun, artinya masih 30-an tahun,” kata dia.
Kini, masyarakat Desa Linggajati, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, mulai aktif mempromosikan mitigasi letusan gunung api. Mereka tak ingin kepanikan tahun 1982 terulang.
”Saat letusan terakhir 1982, warga desa belum siap menghadapi. Sekarang harus lebih siap,” ujar Koordinator Forum Penanggulangan Bencana Desa Linggajati Ohan Burhanudin.
Sejak pelatihan tiga bulan lalu, beragam kegiatan kemandirian warga digalakkan. Warga Linggajati mulai memetakan bencana dibantu 30 relawan penanggulangan bencana. (AIK/CHE)
Sumber: Kompas, 28 April 2014