Pendidikan karakter di sekolah kehilangan instrumen sehingga nilai-nilai yang diajarkan tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Terdapat celah antara nilai dan praktik yang menjadi awal dari tidak efektifnya pendidikan karakter.
Persoalan itu menjadi topik orasi ilmiah pengukuhan Akh Muzakki sebagai Guru Besar Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/3). Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur itu merupakan guru besar ke-49 di universitas tersebut.
“Pendidikan karakter tidak hanya masalah hilir, tetapi juga pada hulunya,” kata Muzakki. Muzakki menyoroti, selama ini, pendidikan karakter hanya dimasukkan ke dalam rencana pembelajaran. Namun, tidak ada pengaruh dari pengembangan karakter itu karena nilai-nilai karakter yang diidealkan berhenti hanya pada definisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu terjadi pada 18 nilai karakter yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Muzakki menyikapi secara kritis susunan 18 nilai karakter yang dinilainya masih terlalu abstrak. Di lapangan, guru-guru kebingungan untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak didik.
Instrumen
Muzakki mencontohkan, nilai yang didefinisikan pemerintah untuk kepedulian lingkungan ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya memperbaiki kerusakan alam. Definisi itu diserahkan kepada guru untuk diimplementasikan. Tanpa panduan yang praktis, guru akan kesulitan.
Oleh karena itu, Muzakki menawarkan metode penerapan praktis, seperti penciptaan instrumen. Terkait dengan kepedulian lingkungan, misalnya, sekolah harus menyediakan peralatan, seperti tong sampah, sapu, dan alat pembersih lainnya. Murid diberi rasa tanggung jawab menjaga lingkungan sekolah dan tidak memasrahkan tanggung jawab tersebut kepada petugas kebersihan yang digaji sekolah.
Nilai tentang kebersihan dijabarkan ke dalam beberapa hakikat nilai turunan, seperti bersih di ruang kelas, di kamar asrama, dan di kamar mandi. Di setiap hakikat nilai, diberikan indikator yang jelas seperti lantai bersih dari bungkus sisa makanan atau meja bersih dari coretan. Lembaga pendidikan kemudian dapat memberikan penghargaan atau hukuman sebagai konsekuensi dari penerapan nilai itu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam yang hadir dalam acara tersebut mengapresiasi gagasan Muzakki. “Ide-ide tersebut perlu diimplementasikan,” katanya. (DEN)
—————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2015, di halaman 12 dengan judul “Pendidikan Karakter di Sekolah Kehilangan Instrumen”.
—————————–
Sekretaris PWNU Jatim Dikukuhkan Jadi Guru Besar Termuda UINSA
Prof Akh Muzakki, MAg Grand. Dipl. SEA MPhil PhD, Sekretaris Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur, Rabu (11/3/2015) dikukuhkan sebagai guru besar termuda di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Muzakki, dikukuhkan sebagai guru besar bidang sosiologi pendidikan.
“Akhirnya, jadi profesor itu takdir,” kata dia, ketika menyampaikan pidato pengukuhan di hadapan ratusan civitas akademik UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Di UIN Sunan Ampel, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini merupakan guru besar ke-49. Surat keputusan pengangkatan Muzakki sebagai guru besar sebenarnya telah keluar sejak oktober 2014, namun karena berbagai kendala, pengukuhan baru bisa dilakukan saat ini.
Sementara itu, dalam pengukuhan kali ini, Muzakki menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Instumentasi Nilai dalam Pembelajaran (Perspektif Sosiologi Pendidikan Karakter)”.
“Pengembangan karakter individu anak harus didorong melalui pendidikan, tapi saya mengkritisi kelemahan pendidikan karakter di Indonesia yang tidak efektif, karena nilai yang diajarkan sangat abstrak,” kata dia.
Dia mencontohkan, anak selalu diajarkan untuk cinta kebersihan, faktanya instrumen kebersihan semisal tempat sampah jarang bisa ditemukan.
Dalam kesempatan ini, dirinya juga mengisahkan anak pertamanya yang lahir di Australia, ketika awal diajak pulang ke Indonesia selalu membawa sampah premen ke rumah untuk dibuang di tempat samah. “Tapi bulan ketiga di sini, anak saya mulai membuang sampah di pojok, kemudian selanjutnya dia menjadi terbiasa buang sampah sembarangan,” ujarnya.
Selain itu, dalam mengajarkan karakter, menurut dia, juga harus dibarengi dengan nilai baik dan dengan menggunakan media yang populer. Bentuknya, kata dia, bisa dengan kata-kata hikmah atau kata-kata mutiara.
Selain itu, musik dan lagu juga bisa dijakan alat untuk mengajarkan karakter. “Misalnya mengajarkan Aswaja ala Habib Syeck dilakukan dengan menyebut Aswaja iku qunut subuh, Aswaja iku adzan loro dan sebagainya. Jika ini dilakukan pasti akan mudah mengena di anak-anak,” ujarnya. (fik/dwi)
Editor: Dwi Yuli Handayani
Laporan Fatkhurohman Taufik
suarasurabaya.net – Rabu, 11 Maret 2015