Habitat ikan arwana super red atau silok merah di alam saat ini semakin terdesak, yang di antaranya tersisa di Danau Lindung Empangau dan Danau Merebung di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Meski keberadaan di alam sangat terbatas, pembiakan di luar habitatnya telah banyak dilakukan para pembudidaya.
Suplai ikan arwana merah dari pembudidaya inilah menjadi harapan untuk menambah populasinya di alam serta menjaga keragaman genetikanya. Namun, penangkar kesulitan mendapatkan lokasi untuk pelepasliaran.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Yayasan Kehati, Rabu (28/8/2019), di Jakarta, mengadakan media briefing terkait konservasi arwana super red (Scleropages formosus) endemis Kalimantan Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Lokasinya kan harus airnya bagus, jangan tercemar. Lalu kalau dilepaskan di Danau Sentarum, itu kan kering kalau kemarau,” kata Walujan Tjhin, Ketua Asosiasi Penangkar dan Pedagang Siluk Kalimantan Barat, Rabu (28/8/2019), di Jakarta.
Dalam media briefing Yayasan Kehati tersebut, ia mengatakan, pada 1990-an ikan silok merah (Scleropages formosus) masih tersebar di hulu Sintang, yaitu Semitau, Bunut, Tembalung, Puttusiabau, dan Danau Sentarum. Namun, perburuan dan keadaan alam yang tak mendukung membuat ikan yang memiliki harga jutaan ini menghilang di alam.
Ikan silok merah atau arwana super red ini masuk dalam Appendix I CITES atau tangkapan jenis ini yang berasal dari alam dilarang diperdagangkan. Perdagangannya diatur sangat ketat oleh pemerintah dan penangkar wajib teregistrasi dalam CITES. Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengharuskan pemasangan cip atau penanda pada tubuh arwana untuk dapat diekspor.
Walujan Tjhin atau Acung mengatakan, tahun ini asosiasi telah mengumpulkan sekitar 50 arwana super red endemis Kapuas untuk dilepasliarkan. Ikan ini berukuran 25-35 sentimeter atau berusia setahun agar masih mudah beradaptasi pada lingkungan dan berburu mangsa di alam liar.
Pelepasliarannya, lanjutnya, bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dalam penentuan lokasi. Wilayah yang direkomendasikan adalah Danau Lindung Empangau di Bunut Hilir yang sejak 2001 merupakan area lindung yang ditetapkan bupati setempat.
Ia menyebutkan, lokasi pelepasliaran menjadi pertimbangan para penangkar untuk pelepasliaran. Acung pernah diminta melepasliarkan ikan tersebut di Danau Sentarum. Namun, hal ini dinilai sia-sia karena danau tersebut kering saat musim kemarau.
Soal lain, perairan sekitar Kapuas terancam oleh aktivitas perkebunan—terutama kelapa sawit—yang menggunakan pupuk dan insektisida berlebihan. Informasi yang didapatnya, pupuk dan insektisida kimia tersebut bisa memengaruhi reproduksi ikan.
Acung pun mengingatkan agar di lokasi pelepasliaran tersebut tersedia jenis ikan lain yang menjadi pakan bagi silok merah. Ia mengatakan, di beberapa perairan, ikan-ikan lain yang juga diburu dan dikonsumsi manusia tersebut mulai sulit ditemukan.
”Jadi budidaya atau pembibitan ikan konsumsi juga perlu dilakukan pemerintah sehingga arwana kalau dilepasliarkan ada pakannya di perairan,” ucapnya.
Perlindungan oleh masyarakat adat
Nandang Sunarya, Regional Fasilitator Bidang Agroforestry Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Yayasan Kehati, mengatakan, di Danau Lindung Empangau terdapat 47 jenis ikan, termasuk silok merah serta ikan konsumsi, yaitu jelawat, toman, baung, dan belida.
Selain danau tersebut, lanjutnya, terdapat Danau Merebung di Kapuas Hulu yang menjadi habitat penting alami bagi silok merah.
Di Danau Merebung, katanya, perlindungan ikan arwana merah oleh masyarakat adat sangat kuat. Sementara perlindungan Danau Lindung Empangau dilakukan oleh kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) yang kini mengembangkan daerahnya menjadi daerah ekowisata.
Agus, Ketua Pokmaswas Danau Lindung Empangau, menyebutkan, terdapat sedikitnya 41 induk arwana di Empangau. Masyarakat setempat hanya diperbolehkan mengambil arwana selama dua tahun sekali dengan aturan ketat. ”Silok merah sangat kami jaga karena habitat di Kapuas ini mau punah,” katanya.
Ikan silok merah pada daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) termasuk dalam terancam punah. Selain penangkapan di alam, IUCN mencatat keberlangsungan ikan ini juga terancam oleh konversi habitat rawa (gambut) yang menjadi area pertanian serta kebakaran hutan.–ICHWAN SUSANTO
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2019