Hasil riset terbaru menunjukkan pada 2030 sekitar 53 juta metrik ton sampah plastik bakal kian mencemari laut. Ini terjadi bila tidak ada implementasi yang ambisius untuk memperbaiki tata kelola sampah dari daratan.
Diperkirakan sebanyak 53 juta metrik ton sampah plastik akan masuk ke ekosistem perairan dunia pada 2030 jika tidak ada upaya serius setiap negara dalam mengatasi masalah sampah. Kondisi ini membuat sejumlah negara termasuk Indonesia perlu menjalankan regulasi yang telah dibuat untuk mengurangi sampah dengan regulasi yang kuat dan implementasi kuat dalam perbaikan pengelolaan sampah.
Perkiraan jumlah sampah plastik di ekosistem perairan terungkap dari hasil riset berjudul Predicted Growth In Plastic Waste Exceeds Efforts To Mitigate Plastic Pollution yang terbit di jurnal Science pada Kamis (17/9/2020) dengan penulis utama Stephanie B Borrelle dari University of Toronto Kanada dan University of Georgia Amerika Serikat. Hasil riset dengan model penghitungan di 173 negara, salah satunya Indonesia, itu juga menyebut 19 hingga 23 juta metrik ton atau 11 persen sampah plastik yang dihasilkan secara global masuk ke ekosistem perairan pada tahun 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghitungan tersebut dilakukan dengan cara mengintegrasikan pertumbuhan populasi, jumlah sampah tahunan per kapita, dan proporsi plastik dalam sampah. Selain itu, prediksi juga dihitung dari proporsi sampah yang tidak dikelola dengan baik. Peneliti menyimpulkan bahwa kemungkinan sampah plastik masuk ke ekosistem perairan semakin besar pada wilayah dengan pengelolaan sampah yang buruk dan dekat dengan sungai atau laut.
Guru besar bidang Pencemaran dan Toksikologi Laut Universitas Hasanuddin, Makassar, Akbar Tahir yang juga menyusun riset tersebut mengatakan, dalam jurnal yang telah terbit, prediksi sampah plastik di perairan pada 2030 tercatat sebanyak 53 juta metrik ton. Namun, setelah dihitung ulang, angka prediksi sampah plastik mencapai 61 juta metrik ton.
“Angka prediksi sampah plastik 61 juta metrik ton ini dihasilkan jika tidak ada upaya sungguh-sungguh setiap negara dalam menangani sampah plastik. Jadi penanganan sampah harus maksimal di atas 90 persen, baru bisa direduksi sampah yang masuk ke laut secara signifikan,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (18/9).
Akbar menjelaskan, riset tersebut dilakukan karena peneliti ingin membuat perhitungan jumlah sampah plastik berbasis fakta dan kalkulasi serta dibuat permodelan. Riset juga dilakukan karena kekhawatiran terhadap jumlah sampah plastik yang sudah mencapai delapan banding satu dengan organisme yang ada di laut.
Sebanyak 20 peneliti dari sejumlah negara menghitung semua sumber yang memungkinkan bocornya sampah plastik ke laut, terutama dari aliran sungai yang mencapai 80 persen. Sementara 20 persen kebocoran sampah plastik lainnya dihitung dari perilaku pembuangan sampah langsung ke laut.
Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi dalam mengatasi masalah sampah plastik di perairan, salah satunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, Akbar menilai regulasi tersebut belum dijalankan dengan baik oleh sejumlah pihak. Alokasi anggaran untuk penanganan dan pengelolaan sampah juga masih minim.
“Masalah sampah sulit dihadapi karena kita dihadapkan pada kesadaran dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Prasarana pengelolaan sampah juga masih belum memadai dan ditambah dengan minimnya anggaran,” tuturnya.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova menyatakan, berangkat dari hasil riset tersebut, sejumlah pihak harus mengimplementasikan regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah. Terlebih lagi, regulasi itu juga telah meratifikasi target pembangunan berkelanjutan (SDGs) ke-14 yang harus dicapai tahun 2030 untuk mengurangi sampah plastik ke lautan dunia.
Target pengurangan jumlah timbulan sampah sebesar 70 persen pada 2025 tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Regulasi lain, Perpres 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
“Dalam paper Borrelle disebutkan target ambisius saja tidak cukup, tetapi harus ditambah implementasi yang sangat kuat. Hal ini tidak bisa dilakukan hanya dari sisi pemerintah saja, tetapi juga dari sisi industri, akademisi dan tentunya masyarakat umum,” ujarnya.
Selain implementasi regulasi dan perubahan pola pikir di masyarakat, kata Reza, perlu juga menyusun rencana darurat untuk menghalau sampah yang masuk ke laut dari aliran sungai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan memasang jaring sampah di sungai-sungai yang akan menuju ke kota besar.
“Contoh dari hasil penelitian kami di Jakarta, sampah sungainya relatif lebih sedikit dibandingkan di Bekasi dan Tangerang karena adanya jaring sampah maupun performa yang baik dari pasukan oranye. Jika hal ini di replikasi ke kota besar pasti akan menurunkan jumlah sampah yang masuk ke laut,” ungkapnya.
Sebelumnya, Reza dan rekannya, Intan Suci Nurhati juga melakukan riset tentang penghitungan sampah laut di Teluk Jakarta. Riset yang terbit di jurnal Scientific Reports pada Desember 2019 lalu itu mengkaji jumlah, jenis, dan bobot sampah di sembilan sungai, yang semua bermuara di Teluk Jakarta pada kurun Juni 2015-Juni 2016.
Hasil riset menyebutkan, terdapat sampah plastik sebesar 59 persen dari 97.098 buah sampah yang setiap hari masuk ke Teluk Jakarta. Sampah plastik tersebut didominasi styrofoam yang bermuara dari sembilan sungai di Tangerang, Jakarta, dan Bekasi.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyatakan belum dapat memberikan tanggapan dan masih mempelajari hasil jurnal prediksi jumlah sampah plastik tersebut. Ia juga menyebut implementasi Perpres 83/2018 dikoordinir oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 19 September 2020