Penambangan pasir laut di Kepulauan Sangkarang, Makassar, Sulawesi Selatan, dikeluhkan warga. Pengambilan pasir untuk reklamasi Makassar New Port tersebut dinilai mengancam kehidupan nelayan setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
—Penambangan timah dengan kapal terlihat saat pantauan udara bersama Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Syahrir Abdurrahman di kawasan Balai Tanjung Karimun, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Kamis (20/12/2012).
Sejumlah proyek pembangunan, salah satunya reklamasi atau penimbunan di pesisir, yang tidak mengedepankan aspek lingkungan akan merusak kawasan perairan dan ruang hidup nelayan. Sejumlah pihak perlu mengkaji kembali proyek reklamasi beserta aktivitasnya seperti penambangan pasir laut.
Ketua Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, segala jenis eksploitasi laut seperti penambangan pasir, khususnya untuk proyek reklamasi kawasan Makassar New Port (MNP), Sulawesi Selatan, berpotensi menyebabkan abrasi, perubahan garis pantai atau akresi, dan gangguan ekosistem pesisir lainnya.
”Daya rusak dari penambangan pasir ini dimensinya berlapis-lapis. Dalam istilah HAM (hak asasi manusia) itu mengakibatkan pelanggaran yang sifatnya materiil dan nonmateriil. Nelayan juga tidak bisa mendapatkan tangkapan maksimal karena dampak dari penambangan pasir,” ujarnya saat konferensi pers secara daring, Jumat (24/7/2020).
Penambangan pasir menggunakan kapal raksasa untuk proyek reklamasi MNP ini berada di kawasan tangkap nelayan. Kawasan ini juga telah turun-temurun dikelola menjadi ruang tangkap nelayan yang ditunjukkan dari banyaknya penggunaan istilah lokal untuk menyebut kawasan tangkap tertentu.
Merah menjelaskan, penambangan pasir laut akan membuat rongga lantai laut semakin dalam sehingga memengaruhi peningkatan gelombang dan tinggi ombak. Hal ini juga akan mengakibatkan kapal nelayan tradisional sulit melaut karena harus berhadapan dengan ombak yang lebih besar.
”Daya rusak penambangan ini juga akan meningkatkan kekeruhan air. Nelayan akan kesulitan dalam melakukan penjelajahan dan menemukan ikan. Bahkan, dari kesaksian warga, radius pencemarannya bisa mencapai 3 kilometer dari lokasi penambangan,” tuturnya.
Hal tersebut juga ditegaskan Zakia, istri nelayan dari Kepulauan Sangkarang, Makassar, Sulawesi Selatan. Sejak enam bulan terakhir, banyak dilakukan penambangan pasir di wilayah Kepulauan Sangkarang untuk proyek reklamasi MNP.
Penambangan pasir juga berdampak pada menurunnya tangkapan nelayan. Setelah adanya penambangan pasir, Zakia mengaku hanya mendapatkan satu ekor ikan tenggiri dari tangkapan biasanya yang mencapai 10 ekor. Ia berharap penambangan pasir dapat segera dihentikan sehingga memperbaiki tangkapan nelayan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menambahkan, seharusnya pihak yang berwenang melihat beberapa pertimbangan sebelum izin penambangan pasir laut diberikan. Salah satu pertimbangan itu adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.
Putusan tersebut secara jelas menyatakan bahwa kelompok nelayan memiliki hak konstitusional masyarakat bahari. Negara seharusnya melakukan perlindungan terhadap hak konstitusional itu, yaitu hak untuk mengakses laut, hak untuk mengelola laut, hak untuk menjalankan tradisi, serta hak untuk mendapatkan perairan yang sehat dan bersih.
”Empat hak itu seharusnya menjadi landasan atau titik berangkat negara ini dalam mengeluarkan kebijakan maupun izin yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil,” ungkapnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 Juli 2020