Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta harus dilakukan secara hati-hati dengan meminimalkan dampak sosial dan lingkungan. Sekalipun relatif aman dari ancaman gempa bumi, Pulau Kalimantan yang menjadi salah satu calon ibu kota baru memiliki kerentanan bencana banjir, kebakaran hutan, selain sejarah konflik sosial.
Tantangan dan potensi pemindahan ibu kota ini didiskusikan sejumlah ahli Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari berbagai disiplin ilmu di Jakarta, Senin (28/5/2019). Pembicara adalah Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Joeni Setijo Rahajoe, Kepala Pusat Penelitian dan Kependudukan LIPI Herry Yogaswara, dan peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI Galuh Syahbana Indraprahasta.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Sejumlah pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari sejumlah disiplin ilmu mendiskusikan peluang dan tantangan rencana pemindahan ibu kota, Senin (28/5/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin, saat membuka diskusi, mengatakan, wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda dan kemudian kembali diwacanakan oleh Presiden Soekarno.Dari aspek pemerataan pembangunan dan penduduk, pemindahan ini diperlukan mengingat hampir 60 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa.
Galuh memaparkan, Jakarta yang dulu bernama Batavia hingga abad ke-17 hanyalah kota pelabuhan dengan penduduk jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Surabaya, Makassar, dan Semarang. Namun, sejak awal abad ke-20, penduduk Batavia sudah melebihi kota-kota lain.
Pertambahan penduduk ini tidak diikuti dengan peningkatan infrastruktur pendukung sehingga secara ekonomi pertumbuhan ekonomi Jakarta tertinggal dibandingkan ibu kota negara lain di Asia, seperti Bangkok. Selain itu, perkembangan Jakarta yang melampuai daya dukung lingkungan menyebabkan terjadinya berbagai persoalan, seperti banjir, penurunan muka air tanah, dan penurunan daratan.
Menurut Galuh, pemekaran Jakarta ke daerah sekitarnya juga memicu persoalan baru. Daerah-daerah penyangga bersaing untuk mendapat investasi dengan mengonversi lahan pertanian subur, misalnya di Karawang, Jawa Barat.
”Dari segi pembangunan, ada dominasi Jawa. Di luar Jawa, yang berkembang ekonominya hanya Kalimantan Timur dan Riau. Itu pun lebih dipengaruhi minyak dan gas sehingga dipertanyakan keberlanjutannya. Ketimpangan di Indonesia ini produk sejarah. Sejak Belanda yang diperkuat zaman Orde Baru yang sentralistis,” ungkapnya.
Selain alasan ekonomi ini, menurut Eko Yulianto, Jakarta berada di zona rawan gempa bumi. Sesar darat yang berpotensi memicu gempa dan berdampak ke Jakarta adalah sesar Cimandiri dan juga sesar Baribis yang jauh lebih dekat, tetapi saat ini datanya masih terbatas. Zona subduksi di selatan Jawa yang bisa memicu gempa di atas M 9 juga bisa berdampak luas hingga Jakarta.
”Untuk gempa sebenarnya bisa diatasi dengan bangunan tahan gempa dan menghindari dari jalur sesarnya. Sekalipun nanti bangunan pemerintah dipindahkan, penduduk Jakarta masih harus berhadapan dengan ancaman ini,” kata Eko.
Tantangan di Kalimantan
Di sisi lain, Kalimantan yang selama ini menjadi kandidat kuat lokasi baru ibu kota juga memiliki sejumlah kerentanan bencana. ”Di Kalimantan memang ada sesar, salah satunya sesar Sangkulirang, tetapi tidak ada data pernah menghasilkan gempa besar,” kata Eko.
KOMPAS/AHMAD ARIF—Peta sebaran gempa bumi di Indonesia, di mana satu noktah merah menandai kejadian dan lokasi gempa. Pulau Kalimantan relatif aman dari gempa bumi, namun rentan bencana banjir dan kebakaran lahan. Kompas/Ahmad Arif
Kalimantan memiliki ancaman bencana lain yang harus dimitigasi, yaitu banjir dan kebakaran lahan.
”Kalimantan memiliki salah satu lahan gambut terluas, yang berdasarkan penelitian saya ketebalannya ada yang mencapai 20 meter. Lahan gambut ini sangat kaya air sekalipun kadar asamnya tinggi dan jika salah kelola akan memicu bencana, seperti terjadi saat pembukaan lahan satu juta hektar gambut di era Orde Baru. Jangan sampai memindahkan ibu kota juga memindahkan persoalan ke tempat baru,” ujarnya.
Joeni mengatakan, jika kemudian Kalimantan yang dipilih sebagai ibu kota baru, sebaiknya tidak di lahan gambut. Salah satu calon ibu kota yang sudah disurvei Presiden Joko Widodo, yaitu Gunung Mas di Kalimantan Tengah, tidak berada di lahan gambut ini. Namun, daerah ini marak dengan penambangan emas.
Aspek ekologis juga harus menjadi pertimbangan penting, terutama terkait dengan laju penurunan keragaman hayati yang saat ini menjadi perhatian dunia. Apalagi, Kalimantan saat ini mengalami tekanan ekologis sangat besar, dengan luasnya pembukaan lahan kelapa sawit dan pertambangan batubara.
”Pemindahan ibu kota ke Kalimantan mungkin akan membawa tekanan lingkungan baru, tetapi di satu sisi mungkin akan membawa dampak baik karena kondisi lingkungan di sana akan lebih termonitor,” ujarnya.
Herry Yogaswara mengingatkan, sejumlah daerah di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, memiliki sejarah konflik bernuansa etnis. ”Dalam beberapa kali kajian sebelumnya, secara sosial tingkat penerimaan Palangkaraya relatif rendah karena sejarah konflik ini. Ini bisa terjadi lagi ke depan jika pemindahan jutaan pendatang kelas menengah secara tiba-tiba,” ungkapnya.
Untuk memitigasi konflik ini, pemerintah harus segera menetapkan daerah yang dipilih dan kemudian dilakukan kajian komprehensif. ”Kajian ini harus memberi ruang lebih besar bagi kajian sosial budaya dan pelibatan intelektual lokal,” kata Herry menegaskan.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 29 Mei 2019