Pemerintah tetap melanjutkan rencana pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi. Salah satu alasannya, tidak ingin tertinggal dari negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, atau Vietnam, yang sudah memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir.
Hal itu dikemukakan Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata saat memberikan kuliah umum bertemakan ”Riset dan Inovasi sebagai Kekuatan Daya Saing Bangsa” di Institut Teknologi Bandung, Sabtu (12/3). Dia menuturkan, Indonesia sudah siap untuk nuklir dari sisi penguasaan teknologi, salah satu contoh dengan keberadaan reaktor milik Badan Tenaga Nuklir Nasional di Kota Bandung.
Suharna mengatakan, pihak yang membuat kebijakan mengenai energi nuklir adalah Dewan Energi Nasional, sementara Kementerian Riset dan Teknologi bertugas untuk sosialisasi. ”Mengapa kita harus antinuklir,” ujarnya dengan nada bertanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suharna mengatakan, pihaknya menerima banyak permintaan dari kepala daerah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di daerahnya. Namun dengan mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kondisi geografis, daerah yang bakal menjadi percontohan adalah Bangka Belitung dan Kalimantan Timur, sedangkan Pulau Jawa belum menjadi prioritas.
Disinggung mengenai bocornya reaktor nuklir di Jepang akibat gempa bumi dan tsunami, Jumat lalu, Suharna tidak mau menjadikannya sebagai alasan Indonesia tidak mengadopsi teknologi nuklir. Yang harus dipastikan, katanya, adalah tingkat keamanan teknologi tersebut. (ELD)
Sumber: Kompas, 13 Maret 2011
——————-
Apalagi, kata Agusman, hasil studi tapak untuk mengkaji kecocokan dan kesesuaian lokasi pengembangan PLTN di Bangka-Belitung sudah selesai. “Tinggal menunggu pembahasan bersama Dewan Energi,” kata Agusman. Kerusakan reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, akibat gempa bumi justru mendorong Indonesia lebih hati-hati mengembangkan proyek ini.
Guru besar Institut Teknologi Bandung, Widjadjono Partowidagdo, mengatakan membangun pembangkit nuklir harus penuh pertimbangan, terutama tentang rendahnya disiplin yang bakal menjadi kendala. Jika berkeras melanjutkan proyek ini, sebaiknya pemerintah mengajak Singapura, Malaysia, dan Thailand membangun proyek dengan skala lebih besar.
Menurut Widjadjono, biaya membangun PLTN jauh lebih mahal dibanding pemanfaatan gas dan air untuk pembangkit listrik. Selain itu, mengolah dan mengurus limbah nuklir tidak mudah. “Tidak mungkin kita gunakan energi nuklir kalau disiplin operator dan pengelola belum diperbaiki,” katanya.
Berdasarkan perhitungan pakar nuklir Institut Teknologi Bandung, Zaki Suud, biaya membuat reaktor nuklir generasi terbaru sekitar Rp 20-30 triliun. Tapi biaya bisa berubah sesuai dengan potensi produksi daya listrik yang dijual. Sebagai contoh, biaya proyek reaktor nuklir di India bisa Rp 10-15 triliun dengan harga jual listrik Rp 200 per kilowatt hour.
Zaki menyarankan pemerintah memakai reaktor generasi 3 plus atau 4, yang jauh lebih aman. Reaktor ini sudah teruji tahan sabotase karena dirancang jauh lebih baik dibanding reaktor Chernobyl maupun Three Miles Island di Amerika. Soal sumber daya manusia, di Indonesia cukup berlimpah. Bahkan tergolong yang paling siap dibanding negara lain di Asia Tenggara.
Saat ini Indonesia memiliki tiga reaktor nuklir, yakni di BATAN Yogyakarta, Serpong, dan Bandung. “Reaktor ini murni hanya untuk penelitian,” kata peneliti BATAN, Puradwi. Reaktor nuklir Kartini di Yogyakarta berjenis Triga Mark, berkapasitas 250 kw sebagai embrio pembangunan PLTN Muria. “Bandung dan Serpong jauh lebih besar,” katanya. IRA GUSLINA | MUH SYAIFULLAH | ANWAR SISWADI | PRIBADI WICAKSONO
Sumber: Koran Tempo, 16 Maret 2011