Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada 2018, Indonesia mengimpor 320.452 ton material daur ulang plastik. Material itu dikirim jauh-jauh dari negara asal ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri daur ulang plastik yang menyerap 913.629 ton material daur ulang domestik.
Data tersebut sungguh ironis apabila dibandingkan data timbulan sampah Indonesia yang mencapai 65,7 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, persentase plastik pada 2018 mencapai 15 persen atau 9,8 juta ton. Sampah plastik ini sebagian besar hanya tertimbun di tempat pemrosesan akhir (TPA). Sebagian kecil bisa terkumpul di bank sampah, pemulung, dan penampung, sebagian lagi berakhir di pekarangan kosong ataupun laut.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO (ICH)–Petugas pada tempat pengolahan sampah bernama Material Recovery Facility Gunung Bahagia, 12 Maret 2019, di Balikpapan, Kalimantan Timur, memilah sampah anorganik menjadi 8 jenis seperti kertas, botol, dan plastik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia, semua jenis plastik bisa didaur ulang tetapi tak semuanya bernilai ekonomis. Hal itu misalnya saja plastik berjenis multilayer (satu lapis terdiri atas dua jenis plastik berbeda) yang jamak dipakai di kosmetik dan makanan, serta kantong plastik sekali pakai (berkatalis dan umumnya dipakai di ritel modern) secara bisnis tak layak didaur ulang. Tak heran, plastik jenis ini berserakan di saluran drainase sehingga memenuhi bibir pantai dan mencapai dasar palung Mariana sedalam 11.000 meter
KLHK–Komposisi sampah di Indonesia pada tahun 2018 masih didominasi sampah basah yaitu sampah dapur dan sampah daun/ranting. Sumber: Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Namun, banyak plastik kemasan air minum berbahan PET/PE yang memiliki nilai jual tinggi pun ditemukan teronggok. Fakta ini menunjukkan bahwa nilai ekonomis dan pasar tak menjamin sampah plastik terkumpul, dibutuhkan lebih dari itu.
Sistem pemilahan yang dimulai dari rumah tangga hingga pengumpulannya merupakan kebutuhan pengelolaan sampah, di samping mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Tak kalah penting, sistem ini bisa terbentuk dan berjalan apabila muncul kesadaran dan penegakan hukum yang kuat.
Kenyataannya, saat ini, orang masih bisa membuang sampah di sungai.
Di Indonesia, menurut UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU Pemerintahan Daerah, kewenangan langsung layanan pengelolaan sampah menjadi kewenangan mutlak dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa dikatakan hanya memberikan rangsangan seperti Adipura hingga mendorong daerah patuh menyusun dan melaksanakan Kebijakan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah yang diamanatkan Peraturan Presiden No 97 tahun 2017. Adalagi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang membantu pembangunan TPA dan teknis infrastruktur terkait.
Dengan kewenangannya, pemda memiliki kekuatan menciptakan sistem pemilahan yang baik di tingkat rumah tangga hingga kantor atau penyedia jasa semacam hotel, restoran, dan tempat wisata. Contohnya, pemda bisa mewajibkan pengangkutan dan pembuangan sampah dari perumahan atau penyedia jasa harus dalam kondisi terpilah sederhana antara sampah basah/sisa dapur/makanan/daun dan sampah lainnya (plastik, kertas, kaca, dan logam).
Dengan persentase 60 persen sampah berupa sampah basah atau biasa disebut sampah organik bisa diolah menjadi biogas yang sangat potensial sehingga tak menimbulkan permasalahan lindi berbau busuk di TPA. Sedangkan sampah sisanya – biasa disebut anorganik – dengan mudah dipilah lagi dalam kondisi lebih bersih sehingga jenis-jenis yang bernilai ekonomis bisa dikumpulkan. Dengan demikian, ancaman bom waktu berupa TPA-TPA yang telah menggunung dan kelebihan kapasitas bisa direm. TPA sesuai peruntukannya hanya menjadi tempat menaruh residu atau sampah-sampah yang tak lagi bisa dimanfaatkan.
Selain itu, manfaat sirkular ekonomi dari sampah plastik, kertas, dan logam pun bisa lebih maksimal. Bila sampah di domestik telah terpilah bersih dan melimpah, buat apa lagi industri daur ulang repot-repot mendatangkan material impor.
“Gajah” berupa potensi sampah domestik yang masih bisa didaur ulang dengan mudah menutup pasokan “semut” material impor. Dengan pemilahan, devisa tak tergerus, lingkungan lebih bersih, dan sirkular ekonomi yang membuka lapangan kerja turut tercipta.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 Juni 2019
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada 2018, Indonesia mengimpor 320.452 ton material daur ulang plastik. Material itu dikirim jauh-jauh dari negara asal ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri daur ulang plastik yang menyerap 913.629 ton material daur ulang domestik.
Data tersebut sungguh ironis apabila dibandingkan data timbulan sampah Indonesia yang mencapai 65,7 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, persentase plastik pada 2018 mencapai 15 persen atau 9,8 juta ton. Sampah plastik ini sebagian besar hanya tertimbun di tempat pemrosesan akhir (TPA). Sebagian kecil bisa terkumpul di bank sampah, pemulung, dan penampung, sebagian lagi berakhir di pekarangan kosong ataupun laut.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO (ICH)–Petugas pada tempat pengolahan sampah bernama Material Recovery Facility Gunung Bahagia, 12 Maret 2019, di Balikpapan, Kalimantan Timur, memilah sampah anorganik menjadi 8 jenis seperti kertas, botol, dan plastik.
Menurut Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia, semua jenis plastik bisa didaur ulang tetapi tak semuanya bernilai ekonomis. Hal itu misalnya saja plastik berjenis multilayer (satu lapis terdiri atas dua jenis plastik berbeda) yang jamak dipakai di kosmetik dan makanan, serta kantong plastik sekali pakai (berkatalis dan umumnya dipakai di ritel modern) secara bisnis tak layak didaur ulang. Tak heran, plastik jenis ini berserakan di saluran drainase sehingga memenuhi bibir pantai dan mencapai dasar palung Mariana sedalam 11.000 meter
KLHK–Komposisi sampah di Indonesia pada tahun 2018 masih didominasi sampah basah yaitu sampah dapur dan sampah daun/ranting. Sumber: Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Namun, banyak plastik kemasan air minum berbahan PET/PE yang memiliki nilai jual tinggi pun ditemukan teronggok. Fakta ini menunjukkan bahwa nilai ekonomis dan pasar tak menjamin sampah plastik terkumpul, dibutuhkan lebih dari itu.
Sistem pemilahan yang dimulai dari rumah tangga hingga pengumpulannya merupakan kebutuhan pengelolaan sampah, di samping mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Tak kalah penting, sistem ini bisa terbentuk dan berjalan apabila muncul kesadaran dan penegakan hukum yang kuat.
Kenyataannya, saat ini, orang masih bisa membuang sampah di sungai.
Di Indonesia, menurut UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU Pemerintahan Daerah, kewenangan langsung layanan pengelolaan sampah menjadi kewenangan mutlak dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa dikatakan hanya memberikan rangsangan seperti Adipura hingga mendorong daerah patuh menyusun dan melaksanakan Kebijakan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah yang diamanatkan Peraturan Presiden No 97 tahun 2017. Adalagi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang membantu pembangunan TPA dan teknis infrastruktur terkait.
Dengan kewenangannya, pemda memiliki kekuatan menciptakan sistem pemilahan yang baik di tingkat rumah tangga hingga kantor atau penyedia jasa semacam hotel, restoran, dan tempat wisata. Contohnya, pemda bisa mewajibkan pengangkutan dan pembuangan sampah dari perumahan atau penyedia jasa harus dalam kondisi terpilah sederhana antara sampah basah/sisa dapur/makanan/daun dan sampah lainnya (plastik, kertas, kaca, dan logam).
Dengan persentase 60 persen sampah berupa sampah basah atau biasa disebut sampah organik bisa diolah menjadi biogas yang sangat potensial sehingga tak menimbulkan permasalahan lindi berbau busuk di TPA. Sedangkan sampah sisanya – biasa disebut anorganik – dengan mudah dipilah lagi dalam kondisi lebih bersih sehingga jenis-jenis yang bernilai ekonomis bisa dikumpulkan. Dengan demikian, ancaman bom waktu berupa TPA-TPA yang telah menggunung dan kelebihan kapasitas bisa direm. TPA sesuai peruntukannya hanya menjadi tempat menaruh residu atau sampah-sampah yang tak lagi bisa dimanfaatkan.
Selain itu, manfaat sirkular ekonomi dari sampah plastik, kertas, dan logam pun bisa lebih maksimal. Bila sampah di domestik telah terpilah bersih dan melimpah, buat apa lagi industri daur ulang repot-repot mendatangkan material impor.
“Gajah” berupa potensi sampah domestik yang masih bisa didaur ulang dengan mudah menutup pasokan “semut” material impor. Dengan pemilahan, devisa tak tergerus, lingkungan lebih bersih, dan sirkular ekonomi yang membuka lapangan kerja turut tercipta.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 Juni 2019