Pembubaran Badan Restorasi Gambut bisa membawa kemunduran bagi komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Indonesia telah berjanji pada dunia untuk menurunkan emisi sebesar 29-41 persen.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO—Suasana di Desa Simpur, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Senin (6/7/2020) pagi. Desa Simpur mengusulkan hutan adat dan hutan kemasyarakatan untuk kepentingan menjaga gambut.
Wacana perampingan lembaga negara yang akan menyasar Badan Restorasi Gambut bisa menimbulkan sentimen negatif terhadap komitmen Indonesia dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Keberadaan lembaga tersebut masih dibutuhkan untuk memulihkan kondisi 2,6 juta hektar gambut di Indonesia yang menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Centre for International Management of Tropical Peatland (Cimtrop) Universitas Palangkaraya Darmae Nasir mengatakan, bila Badan Restorasi Gambut (BRG) dibubarkan, secara politik dan posisi Indonesia di dunia internasional akan sangat riskan. Negara-negara lain akan berpikir Indonesia tidak memiliki komitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Dalam Kesepakatan Paris pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen menekan emisi sebesar 29 – 41 persen pada 2030. Perjanjian internasional ini kemudian diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Pekan lalu, Senin (6/7), pemerintah juga kembali melanjutkan kerja sama penurunan emisi GRK dengan Norwegia. Pemerintah Norwegia akan membayar 530 juta krone atau setara 56 juta dollar AS untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
“Salah satu upaya menurunkan emisi GRK adalah merestorasi lahan gambut yang juga membutuhkan waktu yang lama. Untuk menurunkan kadar emisi dan komitmen dengan dunia internasional, sudah sepatutnya BRG tetap dibutuhkan,” ujar Darmae, Jumat (17/7/2020).
Menurutnya, badan khusus yang bertugas merestorasi lahan gambut merupakan langkah maju untuk menunjukkan keseriusan akan komitmen penurunan emisi. Ia justru meminta agar Presiden tak hanya mempertahankan BRG, tetapi juga memberi wewenang dan pendanaan lebih kuat untuk menjalankan pekerjaannya.
“BRG sudah berhasil membuat citra lahan gambut sebagai sumber bencana berubah menjadi sumber berkah. Akhirnya masyarakat mendukung adanya restorasi gambut,” tuturnya.
Indonesia dicontoh
Pendiri dan mantan Ketua Himpunan Gambut Indonesia Bambang Setiadi pun menyatakan BRG sepatutnya dipertahankan. Alasannya pembentukan lembaga ini didasari niat pemerintah untuk mengurangi sumbangan karbon saat kebakaran hutan dan gambut.
“Sekarang ini Indonesia bahkan sedang menjadi kiblat dunia, terutama negara-negara yang memiliki gambut. Teknologi-teknologi penting untuk mengelola gambut tropika lahir di Indonesia seperti teknologi pengukuran permukaan air lahan gambut,” ujarnya.
Bambang menambahkan, ilmu mengenai pengelolaan air di kawasan gambut berupa pembuatan sekat dan pembasahan gambut kelak menjadi acuan negara-negara bergambut. “Membubarkan BRG akan menghentikan sejarah pengelolaan gambut tropika. Itu akan lebih merugikan dibanding manfaat sesaat yang sekarang dipikirkan.” tambahnya.
Cetak sawah
Pembubaran BRG banyak dikaitkan dengan salah satu proyek pemerintah membuat cetak sawah atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah yang dibangun di bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) 1995 silam.
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo menilai, pembubaran ini tidak ada keterkaitannya dengan program lumbung pangan di Kalteng. Sebab, publik tidak mengetahui secara pasti apakah program lumbung pangan tersebut dibangun di atas lahan gambut atau bukan.
“Program itu juga bukan berarti menjadi tugas dan tanggungjawab BRG. Ini karena BRG mempunyai tugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada tujuh provinsi termasuk di dalamnya Kalteng,” katanya.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas juga memandang bahwa kecil kemungkinannya mengaikatkan pembubaran BRG dengan program cetak sawah di Kalteng. Hal ini karena BRG juga tidak memberikan masukan dalam proyek itu. Ia meyakini ada atau tidaknya BRG, proyek yang belum jelas kajiannya tersebut tetap akan dilanjutkan.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 18 Juli 2020