Selama ini seolah ada garis pemisah antara populasi di sebelah barat Indonesia dan masyarakat di kawasan timur. Perbedaan itu dipertegas dengan ciri fenotipe dan bahasa yang berbeda. Di balik perbedaan itu, ada pembauran kebudayaan dan genetika sejak ribuan tahun lalu dan berlangsung hingga kini.
Perbedaan dan persamaan itu dibahas tiga guru besar dari bidang berbeda dalam seminar “Budaya Melanesia” di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (28/10).
Pembicara dalam seminar itu ialah ahli arkeologi prasejarah dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Truman Simanjuntak; ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Multamia RMT Lauder; dan ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Truman dan Herawati mengemukakan, asal-usul manusia modern (Homo sapiens) di dunia berasal dari Afrika (out of Africa), lalu bermigrasi ke penjuru dunia. “Kapan mereka keluar dari Afrika masih kontroversi. Ada versi, itu terjadi 100.000 tahun lalu, ada yang menyebut 70.000 tahun lalu,” kata Truman.
Migran awal dari Afrika ini kemudian mencapai kawasan Indonesia 60.000 tahun lalu. “Mereka nenek moyang jauh sebagian warga Indonesia di kawasan timur, yang kerap disebut Melanesia,” ucapnya.
Bukti-bukti keberadaan migrasi awal manusia modern itu ditemui di banyak situs di Jawa Timur (Song Terus, Braholo, dan Song Kepek), Sulawesi Selatan (Leang Burung dan Leang Sekpao), serta di wilayah lain Nusantara. Temuan lukisan tangan di Leang Timpuseng, Maros, yang berusia 40.000 tahun lalu dan menjadi yang tertua di dunia juga terkait dengan kelompok migran awal ini.
Di akhir Zaman Es, sekitar 12.000 tahun lalu, menurut Truman, kembali terjadi gelombang migrasi manusia ke kepulauan Nusantara akibat perubahan iklim. “Mereka datang dari Asia daratan dan membuat diaspora ke berbagai arah, terutama di Nusantara bagian timur,” ujarnya.
Kelompok yang dikenal sebagai Austromelanesia atau Austroasiatik itu lalu mengembangkan hunian goa yang sebelumnya dilakukan manusia migran pertama, melanjutkan tradisi berburu dan meramu. Gelombang migrasi berikutnya yang ke Nusantara ialah kedatangan populasi Mongoloid (out of Taiwan) 4.000 tahun lalu.
Pembauran
Populasi Mongoloid atau kerap disebut sebagai penutur Austronesia itu mumpuni dalam tradisi bercocok tanam dan ekspansif. Dampaknya, ada pergeseran hunian.
Mongoloid kian berkembang di Indonesia barat dan Austromelanesia bergeser perlahan ke timur. “Bukti-bukti arkeologi menunjukkan interaksi penutur Melanesia dan Austronesia. Ada kawin campur antar-keduanya,” kata Truman.
Jejak percampuran tampak dari artefak kebudayaan selain perubahan fenotipe manusia. Banyak pertautan budaya. Tradisi menyirih dan menginang dari Austronesia, misalnya, membudaya di Papua dan arsitektur rumah penutur Austronesia di Wae Rebo, Flores, menunjukkan peminjaman budaya Austromelanesia.
Jejak pembauran itu, menurut Herawati, juga terlihat dari studi genetika yang dilakukan lembaganya sejak 15 tahun terakhir. “Tak ada gen murni. Manusia Indonesia ialah campuran beragam genetika dan semuanya pada dasarnya berasal dari Afrika,” ucapnya.
Genetika manusia Indonesia lebih menunjukkan ada gradasi dibandingkan dengan pemisahan yang jelas. Populasi di Indonesia barat didominasi Austronesia meski jejak Austroasiatik masih ada. Sementara di kawasan timur, secara gradual terjadi dominasi gen Papua seiring menurunnya gen Austronesia.
Pembauran ini, menurut Multamia, tampak pada pemakaian bahasa. Meski secara garis besar ada dua rumpun bahasa di Indonesia, yakni Austronesia dan Papua, keduanya saling meminjam kata. Di banyak pulau di Indonesia timur, seperti kepulauan Maluku dan Papua, terutama di pesisir, dua penutur itu hidup bersisian sejak ribuan tahun.
“Penutur Austronesia banyak meminjam bahasa non-Austronesia dan sebaliknya. Pertukaran terutama terkait angka dan cara berhitung menunjukkan barter dan perdagangan,” katanya.
Truman menyebutkan, pembauran kelompok populasi itu kian intensif sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dan itu proses wajar dari aspek kesejarahan migrasi manusia. Jadi, masalah pembedaan seharusnya tak jadi dasar upaya politik. (AIK/IVV/ANS)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Pembauran di Nusantara di Awal Migrasi”.