Sejumlah Revisi Masih Dimungkinkan
Pemerintah mengatur pembatasan jangkauan pengoperasian pesawat nirawak pada Mei 2015. Selanjutnya, pemerintah berencana menambah regulasi untuk memastikan semua pesawat nirawak di Indonesia laik mengudara. Regulasi bukan melarang penggunaan, melainkan menjamin keselamatan transportasi.
Regulasi yang ada saat ini adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang dilayani Indonesia.
“Ketentuan tentang kelaikan udara pesawat tanpa awak akan menjadi peraturan menteri perhubungan yang baru. Peraturan setidaknya bisa selesai akhir tahun ini,” kata Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub Muzaffar Ismail, Selasa (4/8), saat sosialisasi peraturan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 melarang operator menerbangkan pesawat nirawak pada kawasan udara terlarang (seperti Istana Negara, kilang minyak, dan fasilitas militer) dan kawasan udara terbatas, hingga 500 meter dari batas terluar kawasan. Operator juga tidak boleh mengoperasikan pesawat di ruang udara terkontrol, yakni yang masih mendapatkan pemanduan lalu lintas penerbangan.
Direktur Navigasi Penerbangan Kemenhub Novie Riyanto menjelaskan, pesawat nirawak boleh diterbangkan pada ruang udara tanpa kontrol berketinggian maksimal 500 kaki (150 meter). “Ini juga berlaku bagi para jurnalis. Meliput arus lalu lintas di jalan, misalnya, diperbolehkan asal pesawat tidak terbang lebih dari 150 meter,” ujarnya.
Muzaffar mengatakan, untuk melengkapi regulasi, Kemenhub berencana mengadakan diskusi publik awal September 2015 guna menghimpun masukan. Pemerintah pun hingga saat ini belum mendata pesawat-pesawat nirawak yang dibeli masyarakat, terutama yang dari luar negeri.
Direktur Operasi Airnav Indonesia Wisnu Darjono menuturkan, pengaturan pengoperasian pesawat nirawak penting agar tidak mengganggu penerbangan pesawat berpenumpang. “Burung yang berupa daging saja bisa mengganggu mesin pesawat, apalagi jika bertabrakan dengan pesawat nirawak yang keras,” katanya.
Lebaran lalu, kata Novie, dunia penerbangan dikejutkan dengan keberadaan balon-balon yang dilepaskan warga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada balon berketinggian 40.000 kaki.
Berharap revisi
Irwan FB, anggota DJI Phantom Indonesia, salah satu komunitas pengguna pesawat nirawak, meminta adanya revisi terkait batas ketinggian penerbangan yang maksimal 150 meter. Alasannya, terdapat anggota komunitas yang secara khusus bekerja membuat profil perusahaan dan butuh merekam atau mengambil gambar gedung perusahaan tersebut.
Batas ketinggian tersebut, kata Irwan, tidak memadai untuk dokumentasi gedung pencakar langit. Tinggi 150 meter dinilai masih kurang untuk keperluan pendokumentasian tersebut.
Soal revisi juga disampaikan Muzaffar, tetapi dengan sudut pandang berbeda. “Kami akui aturan yang ada belum mewadahi kepentingan dan masukan dari pihak-pihak lain. Jadi aturan ini akan direvisi,” katanya.
Sejumlah aturan yang mungkin sulit diterapkan, kata Muzaffar, di antaranya pengaturan permohonan izin 15 hari sebelum pengambilan gambar dengan pesawat nirawak dilakukan. Itu dikeluhkan para pekerja pers karena peristiwa penting bisa terjadi kapan saja.
Selain itu, revisi juga menyangkut ketentuan bagaimana perawatan terhadap pesawat nirawak (drone) harus dilakukan. Drone diizinkan terbang di kawasan mana saja dan sebagainya. “Drone juga harus dirawat seperti pesawat udara. Kami akan membuat ketentuan soal perawatan. Juga diatur bagaimana drone yang sudah ada. Jika dilakukan pembatasan, bagaimana pembatasannya,” papar Muzaffar. (JOG/ARN)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Pembatasan “Drone” Terkait Keselamatan”.