Pemerintah mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batubara dalam Proyek Pembangunan Tenaga Listrik 35.000 MW. Itu dinilai kontradiktif dengan upaya pengurangan emisi gas karbon.
“Pengoperasian pembangkit itu justru akan menambah emisi CO2 di atmosfer,” kata Arya Rezavidi, pakar energi baru terbarukan dan konservasi energi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (6/1), di Jakarta.
Pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris, akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan kembali komitmen Pemerintah RI mengurangi emisi gas CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Satu-satunya jalan, setidaknya agar tak terlalu membebani atmosfer dengan gas karbon, adalah mewajibkan pengembang PLTU batubara menggunakan teknologi superefisien dan ramah lingkungan meskipun tetap mengeluarkan gas CO2,” kata Arya yang juga Direktur Peningkatan Kapasitas SDM pada Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia.
Teknologi itu tersedia, tetapi lebih mahal. Ada dua teknologi yang bisa diterapkan, yakni teknologi gasifikasi batubara menjadi syngas yang lalu membakar gasnya untuk menggerakkan turbin. Cara ini mengurangi banyak sisa CO2 dalam pembakaran.
Teknologi lain ialah penggunaan ketel uap atau boiler superkritikal. Boiler ini lebih efisien daripada jenis yang konvensional karena suhunya mencapai tekanan sangat tinggi.
Teknologi PLTU superkritikal mencapai tekanan uap hingga 24 megapascal (MPa), pada PLTU subkritikal hanya 16,7 MPa. Suhu pada PLTU subkritikal 538 derajat celsius, pada superkritikal 600 derajat celsius. “Saat ini bahkan sudah ada PLTU ultrakritikal bertekanan 30 MPa dan suhu 700 derajat celsius,” ujar Cahyadi, Manajer Konversi Bahan Bakar dan Kontrol Polusi Balai Besar Teknologi Energi BPPT.
Pemakaian PLTU superkritikal, menurut Arie Rahmadi, Kepala Bidang Pelayanan Teknologi B2TE BPPT, lebih rendah hingga 40 persen dibandingkan dengan PLTU biasa. Selain itu, penggunaan energinya efisien.
Investasi membangun PLTU superkritikal berkapasitas hingga 1.000 MW perlu anggaran hingga 2 miliar dollar AS. Namun, setelah berjalan beberapa tahun, tarif listrik tak beda jauh dengan tarif saat ini, sekitar Rp 700 per kilowatt jam. (YUN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Pembangunan PLTU Batubara Kontradiktif”.