Berbagai kajian dan pemetaan secara nyata menunjukkan kondisi Jawa terlalu parah tereksploitasi. Namun, kajian yang menunjukkan Jawa rentan bencana itu tak mengubah perencanaan pembangunan, penyusunan, ataupun peninjauan tata ruang.
“Tata ruang Jawa masih diperuntukkan pusat industri dan jasa,” kata Soeryo Adiwibowo, Guru Besar Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Rabu (22/6), pada temu media di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta.
Ia mengatakan, pembangunan kini diarahkan di selatan Jawa yang jadi lintasan Cincin Api. Kondisi selatan yang terdiri atas lereng perbukitan amat rentan longsor jika terjadi hujan lebat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, kegiatan ekstraktif seharusnya tak lagi dibebankan di Jawa. Kajiannya bersama sejumlah peneliti pada tahun 2008 bagi Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan, Jawa amat tereksploitasi.
Indikatornya, luas hutan alam di Jawa berkurang. Dari 10 juta hektar pada 1800-an, menjadi 1 juta ha pada 1989, dan 0,4 juta ha pada 2005. Ekosistem untuk tangkapan air dan mencegah erosi atau tanah longsor itu berubah jadi permukiman, kawasan industri, infrastruktur jalan, penambangan, dan lahan telantar.
Kajian juga menyentuh peraturan daerah yang terbit setelah otonomi daerah. Hasilnya, motif berbasis ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) lebih kuat daripada pengelolaan SDA berbasis ekosistem.
Menerbitkan peta
Menurut Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK Ruandha Agung Sugardiman, sejak 2003, pihaknya mengeluarkan Peta Posisi Lahan (LPM) Pulau Jawa dan Madura berdasarkan kriteria kelerengan, curah hujan, tanah, geologi, morfometri, dan posisi daerah aliran sungai (DAS). Peta itu lalu jadi Peta LPM++ setelah digabung Peta Gerakan Tanah dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2006) dan Peta Zona Banjir Bappenas-Departemen Kehutanan (2004).
“Sebanyak 80-90 persen kejadian bencana persis (di peta). Jika pemerintah daerah mengikuti peta ini dan antisipasi di lapangan sedini mungkin, korban dan risiko akan berkurang,” ujarnya. Pada peta itu, 5.073 desa dengan 536.350 keluarga tinggal di area rawan banjir dan longsor. Dengan curah hujan kian tinggi, lokasi kerawanan bencana meningkat. (ICH)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Pembangunan di Jawa Abaikan Kajian”.