Pemahaman tenaga kesehatan dan masyarakat akan kesehatan reproduksi masih kurang. Akibatnya, banyak masalah kesehatan reproduksi yang terjadi di lapangan berkontribusi pada tingginya kematian ibu melahirkan dan stagnannya program Keluarga Berencana.
Demikian disampaikan Ninuk Widyantoro, Ketua Kelompok Kerja 2: Hak dan Pemberdayaan, Komite Nasional Family Planning 2020 (FP2020), dalam seminar setengah hari bertema “Hak-hak dan Pemberdayaan Masyarakat terkait Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana” di Jakarta, Selasa (6/10). FP2020 merupakan gerakan yang dimotori Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didukung oleh Badan PBB untuk Pendanaan Kependudukan (UNFPA) juga Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Pada kesempatan itu, Ninuk menampilkan hasil penelitian kualitatifnya tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat, pengambil kebijakan, juga tenaga kesehatan terhadap KB di tiga tempat, Cilincing (DKI Jakarta), Denpasar (Bali), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Hasil penelitian ini akan menjadi masukan bagi pemerintah agar implementasi program KB lebih tepat guna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi tersebut memunculkan berbagai persoalan di lapangan. Misalnya, muncul kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan yang kemudian membuat permintaan akan aborsi juga meningkat. Hal itu lalu memunculkan praktik aborsi tidak aman yang berisiko pada kematian ibu atau kelahiran cacat. Contoh lain ialah karena kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi perilaku seksual remaja berisiko memunculkan penyakit infeksi. Kasus-kasus seperti itu berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu (AKI).
Kesehatan reproduksi yang dimaksud, ujar Ninuk, mencakup di antaranya KB, kesehatan ibu dan anak, pencegahan penyakit infeksi, aborsi tidak aman, kekerasan terhadap perempuan, dan kesetaraan jender.
Menurut Ninuk, hasil penelitiannya tentang kurangnya pemahaman tenaga kesehatan dan masyarakat terkait kesehatan reproduksi di tiga lokasi penelitian sebenarnya sama saja dengan kondisi tahun 1990-an. “Temuannya tidak ada yang baru,” ujar Ninuk.
Jangan sektoral
Akan tetapi, pemecahan masalahnya sekarang ini tidak boleh sektoral seperti dulu. Perbaikan dalam koordinasi dan sinergi dari berbagai pihak dalam program KB mutlak diperlukan. “Koordinasi antar-pemangku kepentingan sebenarnya sudah berjalan, tetapi tidak memberikan dampak signifikan. Program KB juga tidak boleh lagi berorientasi target, tetapi berorientasi pada klien,” kata Ninuk.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO–Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek, Lampung, Taufiqurrahman Rahim, Sabtu (3/10), memeriksa kondisi Erni (31) setelah anak di dalam kandungannya meninggal. Lampung merupakan salah satu provinsi dengan angka kematian ibu melahirkan tertinggi. Masih banyak masalah kesehatan reproduksi yang terjadi di lapangan yang berkontribusi pada tingginya kematian ibu melahirkan dan stagnannya program Keluarga Berencana.
Direktur Bina Kesehatan Ibu Kementerian Kesehatan Gita Maya Koemara Sakti menyampaikan agar cakupan KB meningkat, advokasi dan kampanye KB seharusnya disampaikan dengan cara komunikasi yang lebih menarik. Advokasi oleh tenaga kesehatan tidak boleh mengarahkan calon akseptor untuk memilih jenis kontrasepsi tertentu. Informasi yang disampaikan kepada calon akseptor harus mampu mengedukasi mereka sehingga mereka tahu jenis kontrasepsi apa yang mereka butuhkan.
Kampanye KB dan edukasi kesehatan reproduksi tersebut terutama ditujukan untuk pasangan muda. Tujuannya agar mereka mampu merencanakan keluarga dengan baik, termasuk rencana kehamilan dan memiliki anak.
ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas Siang | 6 Oktober 2015