Gempa bumi di Samudra Hindia sebelah selatan Cilacap pada Sabtu (25/7) dan selatan Pacitan pada Minggu (26/7), punya kesamaan mekanisme, yakni arah pergeserannya tegak lurus pergerakan lempeng. Itu pemahaman baru dan menambah kompleksitas tektonik di kawasan itu.
“Gempa selatan Malang itu tak sesederhana dugaan kami. Arah slip gempa tegak lurus arah pergerakan lempeng. Padahal, lokasi kejadian di zona subduksi. Yang menarik, ini mirip gempa hari Sabtu di selatan Cilacap,” kata ahli gempa dari Research Center for Disaster Mitigation (RCDM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, Senin (27/7), dihubungi dari Jakarta.
Menurut Irwan, dua gempa itu memberi pemahaman baru fenomena tektonik di selatan Jawa. “Kemungkinannya ada tekanan pra-eksisting yang membuat arah slipnya tak kami prediksi. Ini bisa karena tarikan slab yang kuat atau mungkin pengaruh lain yang belum diketahui. Masih terus kami pelajari, katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rahma Hanifa, peneliti pada RCDM-ITB mengatakan, gempa di selatan Cilacap diduga terkait sisa relaksasi gempa Pangandaran, karena kejadiannya di batas sisi timur runtuhan gempa tahun 2006 itu. “Tapi, untuk gempa di selatan Pacitan, kami belum bisa beri penjelasan. Data patahan di daerah itu belum ada,” ujarnya.
Menurut Irwan, dari sisi keilmuan, pemahaman tektonik di selatan Jawa masih sangat minim, termasuk adanya zona gelap kegempaan (seismic gap). Selama ini, gempa di zona subduksi sering terjadi di selatan Pangandaran dan selatan Banyuwangi. Sementara, di antara kedua zona itu kegempaan cukup rendah. Padahal, potensi kegempaannya sangat tinggi.
Rilis energi
Menurut Irwan, dua gempa kecil di selatan Jawa itu sapaan awal. “Seperti peringatan zona ini aktif, harus diperhatikan. Potensi sesungguhnya skala di atas M 8, yang datang M 5,8,” kata Irwan.
Gempa-gempa kecil itu tak berarti mengurangi energi potensial di zona selatan Jawa. Anggapan bahwa gempa bisa dicicil energinya, kata dia, tidak tepat. Oleh karena itu, kesiapsiagaan terhadap gempa besar di selatan Jawa harus terus dilakukan.
Menurut Rahma, setelah gempa Aceh 2004 dan Tohoku (Jepang) 2011, perspektif ilmu kegempaan berubah. Pasca dua kejadian itu, para ilmuwan meyakini gempa raksasa bisa terjadi di zona subduksi manapun, termasuk di selatan Jawa yang dianggap minim data gempa besar. “Kami pernah kecolongan sehingga tak siap menghadapi gempa Aceh 2004, juga gempa Pangandaran 2006. Tidak boleh kecolongan lagi,” kata Rahma.
Di Lumajang, Jatim, dinding 14 rumah retak akibat gempa di selatan Malang. “Tapi tidak membahayakan penghuni,” kata Hendro Wahyono, Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lumajang.
Laporan BPBD Jatim, gempa dirasakan kuat lima detik di Kabupaten Malang, enam detik di Kabupaten Blitar, dan empat detik di Kabupaten Lumajang.(AIK/DIA/ETA/WER/COK/ODY)
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Pemahaman Baru Gempa Selatan Jawa”.
——————-
Jangan Terlena dengan Gempa Kecil
Dua hari berturut-turut, yaitu Sabtu (25/7) dan Minggu (26/7), Samudra Hindia di selatan Jawa diguncang gempa. Kekuatannya masih di bawah 6 skala Richter, tergolong kecil dan tidak memicu tsunami. Namun, gempa dengan magnitudo di atas 8 dan tsunami besar dipercaya berpotensi terjadi di zona ini.
Gempa-gempa kecil ini menambah panjang daftar kejadian serupa di kawasan ini sehingga membuat masyarakat semakin terbiasa dan dikhawatirkan justru mengurangi kesiapsiagaan. “Anggapan bahwa gempa bisa dicicil energinya bisa menyesatkan,” kata Widjo Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT), Senin (27/7).
Sebagaimana diberitakan Kompas (26/7), masyarakat di selatan Jawa semakin terbiasa dengan gempa-gempa kecil. “Perlu dievaluasi secara menyeluruh apakah kita benar-benar siap jika ada gempa bumi atau tsunami besar lagi,” kata Widjo.
Menurut Widjo, evaluasi ini penting mengingat kawasan selatan Jawa masih menyimpan energi kegempaan yang sangat besar yang belum terlepas. “Bahwa rilis energi dengan gempa-gempa kecil bisa benar akan mengurangi akumulasi energi. Tetapi, faktor lain masih sangat kompleks dan belum banyak diketahui,” katanya.
Penelitian yang dilakukan Tim 9, daerah pantai selatan Jawa rentan dilanda gempa dengan kekuatan hingga M 8,2. Dari pemodelan yang dilakukan Widjo, dengan kekuatan gempa itu, tsunami yang dibangkitkan bisa setinggi 6 meter-9 meter di pantai dan menjalar ke daratan hingga sejauh 2 kilometer.
Sedangkan penelitian dari Hanifa (2014), selatan Jawa, khususnya Jawa bagian barat, menyimpan energi kegempaan M 8,3- 8,7. “Untuk model tsunami dengan skenario terburuk saya menggunakan M 8,5 Jawa selatan bisa berpotensi terkena tsunami 10-15 meter dan penetrasi air ke daratan sejauh 3 km-5 km dari pantai,” kata Widjo.
Gempa Mag:6.3 SR,26-Jul-15 14:05:05 WIB,10 Km,(150 km BaratDaya KAB-MALANG-JATIM )
— BMKG (@infoBMKG) July 26, 2015
Selain itu, menurut Widjo, kawasan selatan Jawa memiliki sifat kegempaan khas yang kerap disebut sebagai earthquake tsunami karena banyaknya sedimen di pusat gempa. “Karakter di selatan Jawa, walau gempanya relatif kecil dan tidak begitu terasa, bisa memicu tsunami besar. Apalagi kalau gempanya cukup besar, ancaman tsunami pasti lebih besar,” tuturnya.
Di selatan Jawa terdapat zona gelap kegempaan (seismic gap). Selama ini, gempa di zona subduksi sering terjadi di selatan Pangandaran dan selatan Banyuwangi. Di antara kedua zona itu kegempaan cukup rendah. Inilah yang sering disebut sebagai seismic gap, yang sewaktu-waktu bisa melepas energi kegempaan besar.
Sejarah gempa
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono juga mengingatkan bahwa, Jawa bagian selatan memiliki sejarah kegempaan yang merusak dan cukup mematikan, walaupun skalanya tidak sampai M 8. Gempa bumi yang pertama kali tercatat dalam sejarah adalah gempa bumi Purworejo (1840), namun yang tidak tercatat atau lebih tua dari data itu dipercaya telah berulang kali terjadi. Masalahnya, hingga sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia di abad ke-17, pencatatan kejadian alam di Indonesia belum dilakukan secara sistematis.
Menurut Newcomb dan McCann (1987) gempa bumi ini terjadi pada 4 Januari 1840. Daerah yang mengalami kerusakan meliputi Kebumen, Purworejo, Bantul, Salatiga, Demak, Semarang, Kendal, dan Banjarnegara. Sedangkan gempa bumi merusak yang terjadi pada 10 Juni 1867 menyebabkan ribuan rumah rusak dan lebih dari 500 orang meninggal (Newcomb dan McCann, 1987). Getaran gempa bumi ini terasa hingga Klaten, Salatiga, dan Sragen.
Gempa bumi merusak juga terjadi pada 23 Juli 1943. Kota-kota yang mengalami kerusakan adalah Cilacap, Tegal, Purwokerto, Kebumen, Purworejo, Bantul, dan Pacitan. Korban meninggal lebih dari 213 orang, sedangkan korban luka mencapai 2.096 orang, dan 15.275 rumah rusak (Bemmelen, 1949). Gempa bumi merusak di Yogyakarta dan Jawa Tengah juga pernah terjadi pada 27 Mei 2006. Meskipun kekuatan gempa bumi ini relatif kecil (Mw 6,4), tetapi mengakibatkan lebih dari 6.000 orang meninggal.
Pada 3 Juni 1994, terjadi tsunami di selatan Banyuwangi yang menelan korban sekitar 215 orang. “Saat itu gempa bumi juga terjadi di zona megathrust selatan Jawa timur dengan kekuatan Mw 7,8 dengan kedalaman hiposenter 18 km,” kata Daryono.
Jejak tsunami besar
Catatan sejarah tentang kegempaan di selatan Jawa ini relatif sedikit jika dibandingkan dengan sejarah kegempaan di Sumatera. Kekuatan gempa yang tercatat juga tidak menyampai magnitudo 8. Namun, penelitian yang dilakukan ahli paleotsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto menemukan bahwa pantai selatan Jawa diyakini berulang kali dilanda tsunami raksasa yang dipicu gempa sangat kuat.
Dari penelitiannya di Sungai Cikembulan, Pangandaran, Jawa Barat, dia menemukan empat lapisan pasir yang diduga menjadi penanda keberulangan tsunami di kawasan ini. Salah satu lapisan pasir cukup tebal, yang menunjukkan bahwa skala tsunaminya sangat besar. Dalam lapisan itu terdapat cangkang kerang Foraminifera yang menguatkan dugaan bahwa endapan ini berasal dari laut yang terbawa saat tsunami. Setelah dilakukan penanggalan, lapisan itu diduga akibat tsunami sekitar 400 tahun lalu. Itu berarti tsunami terjadi sekitar tahun 1600 atau abad ke-17.
Eko menjelaskan, kejadian tsunami di selatan Jawa ini juga didukung oleh penelitian McCaffrey (2008) yang mengusulkan hipotesis baru mengenai potensi gempa bumi besar (Mw ? 9,0) yang berpotensi terjadi di seluruh zona subduksi di dunia setelah tsunami Aceh 2004. Hipotesis ini kemudian dikuatkan dengan tsunami yang dibangkitkan gempa Mw 9,1 di Sendai, Jepang.
“McCaffrey telah membuat perhitungan matematis bahwa periode perulangan gempa besar di selatan Jawa adalah per 675 tahun, sedangkan di Sumatera 512 tahun. Dari data inilah, kini kami melacak jejak tsunami di selatan Jawa pada masa lalu,” ujarnya.
AHMAD ARIF
Sumber: Kompas Siang | 27 Juli 2015