Kemampuan dan kualitas pelajar Indonesia dalam penguasaan sains tidak kalah dibanding pelajar negara lain, dan telah diakui dunia dalam berbagai kompetisi. Mereka tak cuma berjaya di bidang ilmu murni pada Olimpiade Fisika atau Matematika, tapi juga mampu menciptakan sesuatu yang baru. Dari robot yang mampu mendeteksi bom, alat pendeteksi tsunami, hingga manfaat eceng gondok untuk mengurai polusi, misalnya.
Sayang, perhatian pemerintah untuk memelihara dan mengembangkan kualitas brainware ini dirasakan belum maksimal. Akibatnya, mereka keburu digaet pihak asing. Berbagai perguruan tinggi asing diketahui aktif mendekati para calon ilmuwan terbaik ini, yang mereka dapatkan di kompetisi internasional. Mereka memberi iming-iming beasiswa, jaminan hidup, bahkan jaminan kerja. Jika kita tak segera membenahi diri, dikhawatirkan putra-putri terbaik ini hilang tanpa bisa berperan memajukan bangsa.
————–
Mumpuni di Teori dan Terapan
Para pelajar kita tak tak cuma jawara dalam ilmu murni di Olimpiade Fisika dan Matematika. Mereka juga mampu menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari maupun dunia industri. Penemuan para pelajar SMA Semesta Bilingual Boarding School Semarang berikut ini menjadi salah satu bukti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beli Minuman Via SMS
Membeli minuman hanya dengan memasukkan sejumlah uang koin tertentu sudah bukan hal aneh. Di sudut-sudut Bandara Soekarno-Hatta atau shelter bus Transjakarta bisa kita jumpai mesin penjual minuman atau soft drink vending machine. Tapi membeli lewat layanan pesan singkat (SMS)? Cuma Aditya Putrawan dan Endo Sadewa yang mampu mewujudkannya.
Kedua pelajar itu mendemonstrasikan ide mereka pada lomba Info Matrix Project Competition di Bucharest, Rumania, 22-26 April lalu. Hasilnya, “Box Soft Drink Seller Via SMS” yang mereka ciptakan diganjar dengan medali perak.
Info Matrix merupakan olimpiade proyek penelitian tingkat internasional dalam bidang komputer untuk tingkat sekolah menengah atas. Ada lima kategori yang dilombakan: fotografi, pemrograman, muatan digital, kendali peranti keras, dan animasi. Kegiatan tahunan ini diselenggarakan oleh LUMINA Educational Institution bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Riset, Pemuda, dan Olahraga Rumania. Tahun ini pesertanya berasal dari 32 negara.
Aditya dan Endo menuturkan, pembuatan alat ini terilhami oleh cerita rekan sekolah yang baru mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang. Sang teman bercerita, di Negara Matahari Terbit itu, teknologi sangat memanjakan masyarakatnya. Di tempat-tempat publik, misalnya, bertebaran vending machine, yang menjajakan aneka bahan kebutuhan, seperti tiket, bahan bakar, makanan ringan, minuman, sampai kondom. Cukup dengan memasukkan koin atau uang kertas, barang-barang yang diperlukan bisa langsung didapat.
“Jika diaplikasikan di Indonesia, cukup susah,” kata Aditya saat berbincang dengan Tempo, Kamis lalu. Sebab, di Indonesia uang koin pecahan terbesar cuma Rp 1.000 sehingga kurang praktis untuk penjualan harga yang mencapai Rp 5.000 atau lebih. Juga tidak praktis bila harga tidak bulat.
Penggunaan mesin dengan uang kertas juga kurang cocok mengingat uang kertas kita mudah lusuh dan kumal. “Kami berpikir, kenapa tidak menggunakan SMS saja,” kata Endo. “Toh, hampir semua orang kini mempunyai telepon seluler,” Aditya menimpali.
Dengan bimbingan seorang guru, proyek ini selesai empat bulan dengan biaya Rp 1,8 juta. Bahan-bahan yang diperlukan antara lain boks dari bahan akrilik berukuran 50 x 30 x 70 sentimeter. Boks dilengkapi dengan micro-controller sebagai otak alat ini, motor servo sebagai penggerak, papan penyangga soft drink, modul GSM untuk menerima SMS, serta LCD sebagai layar konfirmasi pemesanan.
Cara kerjanya sederhana. Cukup kirim SMS ke nomor yang tertera dalam vending machine dengan mengetik jenis minuman dan jumlah barang yang dipesan. Permintaan akan dikonfirmasi mesin melalui layar. Untuk sementara, mesin ini hanya menawarkan tiga merek minuman ringan, masing-masing merek tersedia tiga kaleng. “Namun dengan mudah bisa diganti dengan merek lain, termasuk operator GSM bisa diganti dengan CDMA,” kata Endo. Kapasitas mesin ini juga bisa ditingkatkan.
Kedua siswa berusia 17 tahun ini mengaku tidak menemukan kesulitan berarti saat merangkai mesin itu. Cuma agak melelahkan karena harus bolak-balik dari sekolah di Gunung Pati ke laboratorium Fakultas Teknik Elektro Universitas Diponegoro, yang berjarak sekitar 30 kilometer. “Meski capek, tapi kami puas mampu bersaing dengan pelajar di tingkat internasional,” kata Endo dan Aditya bersamaan.
Aditya, yang bercita-cita menjadi duta besar, juga puas, bisa bertukar pengalaman dengan peserta dari berbagai negara sambil memperkenalkan budaya Indonesia. “Karena Info Matrix Project Competition tidak sekadar lomba pengetahuan, juga tapi pergelaran budaya masing-masing negara peserta.”
Apakah temuan ini akan disempurnakan dan dikomersialkan? Keduanya belum memberikan kepastian. Sebab, pada saat kelas tiga nanti, mereka harus total berkonsentrasi menghadapi ujian akhir nasional. “Tapi, jika ada adik kelas yang ingin meneruskan, silakan,” ujar mereka. Sohirin
—————
Jenius Muda Dirawat Singapura
Prosedur beasiswa di Tanah Air birokratis, para jenius muda kita bertebaran menimba ilmu di negara lain.
Menjadi jawara Olimpiade Fisika di tingkat Asia rupanya tak otomatis bisa menikmati beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Pengalaman getir pada tahun lalu itu dialami Hendra Kwee, 30 tahun. Sebagai pembina di Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), ia bermaksud membantu anak asuhannya agar bisa mendapatkan beasiswa di Institut Teknologi Bandung.
Namun Hendra hanya bisa terbengong-bengong ketika seorang pejabat Kementerian Pendidikan Nasional meminta agar si pelajar itu kuliah dulu, baru kemudian mengajukan beasiswa. “Kemampuan anak-anak jenius ini sungguh tak dihargai,” kata doktor fisika dari College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat, itu saat ditemui di kantor Yayasan TOFI, Rabu lalu.
Ia tak habis mengerti, seorang peraih medali emas kompetisi pelajar tingkat Asia, yang sudah mengharumkan nama negara, harus berjuang sendiri untuk bisa kuliah di dalam negeri. Padahal universitas luar negeri mana pun, Hendra melanjutkan, akan menjamin seluruh biaya sejak murid itu mendaftar.
Apesnya lagi, penerima beasiswa di Tanah Air tak serta-merta bisa tenang. Ia ingat betul saat kuliah di ITB, 13 tahun lalu. “Teman saya yang menerima beasiswa harus berutang kanan-kiri karena pencairannya molor lima bulan,” katanya. Karena itu pula, Hendra ogah mengurus beasiswa untuk dirinya sendiri. Padahal ia adalah jawara olimpiade fisika pada 1996.
Entah berkaca pada pengalaman Hendra atau bukan, Winson Tanputraman, 17 tahun, pun lebih memilih kuliah di National University of Singapore (NUS) mulai Juni nanti. “Kampus itu menerima permohonan beasiswa saya,” kata peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat Asia di Thailand, 2009. Iming-iming dari Negeri Singa itu memang lebih menggoda. “Semua biaya kuliah dan hidup saya ditanggung mereka,” ujar bekas murid SMAK 1 Penabur Jakarta Barat itu.
Yang lainnya, Mohammad Sohibul Maromi, peraih medali perak Olimpiade Fisika tingkat Asia di Taipei, Taiwan, 23-30 April lalu, sebetulnya sangat ingin kuliah di Singapura. Ia menyebut Nanyang Technological University (NTU) sebagai kampus idaman. “Tapi ibu saya sudah sepuh, kasihan kalau jauh,” kata Romi–panggilannya–yang baru lulus dari SMA I Pamekasan, Madura.
Sementara ini, remaja berkacamata yang mahir bermain gitar itu sudah diterima di Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan. “Tapi akhir Mei saya akan coba ikut ujian di ITB untuk jurusan yang sama,” ujarnya.
Singapura memang salah satu negara tujuan kuliah pelajar Indonesia. Menurut Kepala Fungsi Perlindungan WNI di Kedutaan Besar Indonesia untuk Singapura, Fahmi Aris Inayah, ada sekitar 16 ribu pelajar Indonesia di negara pulau itu. “Mereka tersebar di berbagai kampus swasta dan negeri di sini,” katanya saat dihubungi via telepon Kamis lalu.
Kampus yang paling banyak menampung adalah NTU dan NUS. Kedua kampus ini masuk jajaran kampus top dunia, dan jawara di Asia. Dalam setahun, NTU dan NUS masing-masing menerima 120-an dan 80-an pelajar Indonesia.
Kampus-kampus di Singapura diketahui agresif memburu para pelajar berprestasi dari Indonesia. Mereka memiliki agen yang mendatangi sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar, untuk merayu para pelajar agar kuliah di Singapura.
Beasiswa yang ditawarkan, kata Hendra Wong, Ketua Pemuda Pelajar Indonesia Singapura, amat menggiurkan dibanding yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Angkanya memang bervariasi. Tapi setidaknya sudah menutupi biaya kuliah, yang rata-rata bernilai Rp 112 juta per tahun.
Syaratnya, mereka ikut ujian masuk yang digelar di kota-kota yang ditentukan. Hendra menyebutkan, NTU biasa menggelar ujian masuk di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Magelang. Sedangkan NUS hanya menggelar ujian di Jakarta dan Medan.
Singapura mengikat para penerima beasiswa itu dengan kontrak bekerja di perusahaan milik negara itu selama tiga tahun. Meski setelah itu mereka bebas bekerja di mana saja, menurut Hendra Kwee, ini cara halus agar para jenius itu tetap mengabdi kepada Singapura.
Fahmi menyatakan pemerintah tidak bisa membatasi gerak-gerik pihak Singapura. “Karena (beasiswa itu) tidak ada paksaan,” katanya.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal menjelaskan, prosedur beasiswa di Tanah Air mungkin terkesan birokratis. Tapi hal itu dilakukan karena beasiswa merupakan uang negara, dan pemerintah tak mau kecolongan. Sebab, ada kalanya terjadi si penerima beasiswa ternyata kuliah di kampus lain, atau bahkan tidak mengikuti kuliah sementara uang telah digelontorkan. “Uang-uang itu harus bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Alokasi dana beasiswa Kementerian Pendidikan Nasional tahun ini Rp 1,5 triliun untuk lebih dari 3 juta siswa dan mahasiswa kurang mampu. Kementerian juga telah menyiapkan Program Beasiswa Bidik Misi sebesar Rp 200 miliar untuk 20 ribu mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
“Tidak ada biaya apa pun. Bebas pendaftaran, SPP, bebas biaya hidup, semuanya kami siapkan,” tutur Menteri Pendidikan M. Nuh kepada pers awal Januari lalu.
Ketua Yayasan TOFI Profesor Yohanes Surya mengaku geram terhadap oknum-oknum pemerintah yang menyepelekan pentingnya merawat para jenius muda kita. “Banyak oknum yang sok ngatur, tapi malah bikin kacau,” katanya.
Ia mengaku terpaksa turun takhta, tak lagi mencampuri keikutsertaan Indonesia di Olimpiade Fisika tingkat internasional tahun depan. Yohanes dipaksa hanya bisa mengikutkan anak didiknya di olimpiade tingkat Asia. Padahal selama ini fulus pemerintah tidak selalu mengalir untuk membuat murid-muridnya menjadi jawara. “Kami lebih banyak didanai sponsor,” ujarnya.
Fasli Djalal membantah pengabaian ini. Pemerintah, katanya, secara prinsip membuka tangan lebar-lebar untuk bekerja sama dengan orang semacam Yohanes Surya. Ada bantuan biaya berupa akomodasi sejak berangkat hingga mereka pulang ke Indonesia. “Kalau berangkat atas inisiatif sendiri, tidak kami bantu,” katanya. Mustafa Silalahi
——————
Senduduk Pengganti Silikon
Pemberitaan tentang krisis energi yang mengancam dunia mengusik Healtha Padmanusa dan Nabila binti Ahmad Anshori. Kedua pelajar berjilbab itu mafhum, teknologi sel surya (solar cell, photovoltaic) merupakan solusi jitu dan gratis karena bersumber dari sinar matahari.
Hanya, selama ini, untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik, sel surya masih menggunakan silikon, yang harganya mahal. Atau menggunakan ruthenium (zat pewarna sintesis), yang tidak ramah lingkungan. “Kami melakukan penelitian, kira-kira zat pewarna dari tumbuhan apa yang bisa digunakan sel surya,” kata Healtha.
Berbagai literatur dan informasi via Internet dibuka. Praktek lapangan juga dilaksanakan dengan meneliti berbagai daun, biji-bijian, dan buah-buahan. Setelah hampir putus asa, akhirnya mereka menemukan biji pada tanaman senduduk (Melastoma malabathricum). Biji ini mengandung banyak antosianin (zat warna merah-keunguan), yang bisa menggantikan fungsi silikon.
Untuk memanfaatkan antosianin pada senduduk, terlebih dulu daun ini harus melewati proses ekstraksi. Caranya, biji senduduk ditumbuk, lalu dicampur dengan asam asitat, metanol, dan akuades selama 24 jam.
Untuk memanfaatkan zat warna senduduk pada sel surya, dilakukanlah uji coba dengan menggunakan dua potongan kaca ukuran 3 x 4 sentimeter. Kaca pertama terlebih dulu dilapisi konduktif (TCO) dan titanium dioksida (TIO2). Kaca kedua dilapisi dengan karbon. Selanjutnya, kaca pertama direndam dalam zat warna dari ekstrak senduduk selama 30 menit. Setelah itu, permukaan kaca diolesi elektrolit.
Energi panas matahari (foton) akan mendorong elektron dari zat warna yang sudah terserap pada sel surya. Dengan demikian, terjadi perubahan dari energi matahari menjadi listrik.
Healtha dan Nabila menamakan temuannya dengan “Utilization of Anthocyanint Compound from Senduduk Plant as Sensitizers in Dye Sensitized Solar Cell”. “Atau sel surya pewarna yang tersensitasi,” kata Nabila.
Kelebihan temuan ini adalah pada pemanfaatan tanaman senduduk. Selama ini senduduk tidak memiliki nilai ekonomis, baik untuk sayuran maupun pakan ternak. Tanamannya juga mudah tumbuh. Berbeda dengan singkong. Meski bisa dijadikan bioetanol, pemanfaatannya bersinggungan dengan nilai ekonomisnya sebagai bahan makanan.
Meski demikian, menurut Healtha, hasil penelitian ini tidak cocok diterapkan untuk rumah tangga, melainkan untuk skala industri. Sebab, alat ini harus terkena sinar matahari langsung. Sedangkan untuk mendapatkan daya listrik yang besar, diperlukan medan kaca yang lebar.
Sebagai gambaran, dari uji coba dengan kaca seukuran 3 x 4 sentimeter, alat ini hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 50 milivolt. Agar lebih optimal, energi listrik yang dihasilkan sebaiknya ditampung dalam sebuah alat penyimpan energi. Satu hal lagi, untuk menghasilkan ekstrak zat warna senduduk, dibutuhkan alat pemanas dengan suhu mencapai 450 derajat Celsius.
Hasil kajian kedua pelajar itu dianugerahi medali perak pada forum International Sustainable Energy Engineering and Environment Project Olympic di Houston, Texas, Amerika Serikat, pertengahan April lalu. Penelitian itu mengalahkan peserta dari 70 negara serta 40 negara bagian di Amerika. Selain medali, keduanya berhak atas uang pendidikan sebesar US$ 600.
“Bukan uang dan trofinya, dapat juara, kita sudah sangat senang,” kata Healtha sambil nyengir. Meski berhasil menemukan teknologi baru untuk dunia energi, keduanya tak ingin menjadi ahli energi. Healtha ingin menjadi seperti ayahnya sebagai dokter, sedangkan Nabila ingin menjadi ahli farmasi. Sohirin
————–
Prestasi Dunia Anak Bangsa
Di tengah keterpurukan pendidikan nasional, sejumlah siswa mencetak beragam prestasi yang mengharumkan nama bangsa di kompetisi internasional. Dengan segala keterbatasannya, mereka mampu merajai berbagai ajang penelitian tingkat internasional atau olimpiade pelajar tingkat dunia. Berikut ini di antaranya.
2007
Aulia Reza (SMA Kharisma Bangsa Tangerang Selatan)
Meraih medali emas dalam kompetisi International Environmental Project Olympiad di Azerbaijan pada April. Ia membuat rumah kaca yang sepenuhnya dioperasikan secara otomatis. Rumah kaca itu dapat mengatur suhu kelembapan udara dan intensitas cahaya yang masuk ke ruangan secara otomatis.
Amanah Ramadiah (SMA Kharisma Bangsa Tangerang Selatan)
Meriah medali emas Olimpiade Internasional Infomatrix, 13-16 Mei, di Bucharest, Rumania. Ia berhasil menciptakan robot Bombuster untuk mendeteksi bom, sekaligus mengamankannya.
Dipa Raditya (SMA Pribadi Depok) dan Riyandi Pratama Putra (SMA Semesta Semarang)
Meraih medali perak Olimpiade Internasional Infomatrix, 13-16 Mei, di Bucharest, Rumania. Robot ciptaan mereka mampu menemukan titik api dan memadamkannya secara otomatis serta mengirimkan peringatan adanya bahaya kebakaran melalui SMS.
Fakhry Auzan (SMA Fatih Bilingual School Banda Aceh)
Meraih medali emas pada kompetisi proyek penelitian Burc Science and Engineering Fair di Adana, Turki. Pelajar kelas II ini membuat mobil robot polisi yang dapat mencari dan menilang pelanggar lalu lintas.
Muhammad Dhika Ramadhan dan Adidharma Sudradjat (SMA Pribadi Advanced School)
Meraih emas pada International Young Inventors Project Olympiad di Georgia. Keduanya menciptakan Tsunami Detector, yang berfungsi melakukan deteksi dini terjadinya tsunami.
Choirudin Anas (SMA Semesta Semarang)
Meraih medali emas International Environmental Project Olympiad di Istanbul, Turki, pada 10-13 Juni. Penelitiannya membuktikan, eceng gondok dapat menjadi alternatif penanganan pencemaran air dari polutan, khususnya logam berat, dengan biaya yang murah.
Zefrizal Nanda Mardani
Meraih medali emas Olimpiade Astronomi Internasional di Ukraina pada Oktober.
Farid Firmansyah dan Masruri Rahmat
Juara I kelompok usia 15 tahun dan juara III kelompok usia 11 tahun di Kejuaraan Dunia Catur Pelajar Ke-3 di Yunani pada 28 April hinga 5 Mei.
Stephanie Senna
Meraih medali emas Olimpiade Biologi Internasional di Saskatoon, Saskatchewan, Kanada, 16-22 Juli.
2008
Andres Dwi Maryanto (SMAK Kolose St Yusuf Malang)
Meraih medali perak pada International Mathematics Olympiad di Madrid, Spanyol, 10-22 Juli.
Kelvin Anggara (SMA Sutomo 1 Medan)
Meraih medali emas di Olimpiade Kimia Internasional di Budapest, Hungaria, 12-21 Juli.
Rudi Handoko Tanin (SMA Sutomo 1 Medan)
Meraih medali emas di International Physic Olympiad di Hanoi, Vietnam, 20-29 Juli.
M. Ironnanda Kurnia Jabbar dan Dirgantara Reksa Ginanjar (SMA Pribadi Depok)
Meraih emas dalam International Science and Technology Exhibition pada 28 Oktober sampai 1 November, di Puerto Allegro, Brasil. Keduanya menciptakan Virtual Doctor, yang dapat menentukan jenis penyakit dan memberikan resep obat hanya hitungan menit.
Adrienne T. Sulistyo dan Vici R. Tedja (SMA Santa Laurensia Alam Sutera, Tangerang)
Meraih medali perak International Environmental Project Olympiad di Azerbaijan pada 1-6 April. Mereka berhasil membuktikan bahwa ekstrak kulit jeruk mampu mengolah limbah berbahan Styrofoam sehingga bisa diurai oleh alam.
Terrenz Kelly Tjong dan Lynn Kaat Kurniawan (SMA Santa Laurensia Tangerang)
Meraih medali perak pada konferensi ilmuwan muda The 15th International Conference of Young Scientists, di Chernivtsi, Ukraina, 18-23 April. Keduanya berhasil membuktikan, ekstrak kulit manggis berpotensi menjadi alat kontrasepsi atau KB bagi pria yang efektif.
Adam Badra Cahaya (SMAN 1 Jember), Rudy Handoko Tanin (SMA Sutomo 1 Medan), dan Kevin Winata (SMAK 1 Penabur Jakarta), meraih medali emas. Thomas A. Nugraha Budi (SMAN 78 Jakarta) menyumbang medali perak, sedangkan perunggu diraih Tyas Kokasih (SMA Taruna Nusantara Magelang) pada Olimpiade Fisika Asia di Mongolia pada 20-28 April.
2009
Tim Robot Indonesia, Stevanus Akbar Alexander dan Rudi Hartono dari Universitas Komputer Indonesia Bandung, meraih medali emas dalam International Robogames di San Francisco, Amerika Serikat, 14 Juni.
Anugerah Erlaut (SMA Kharisma Bangsa Tangerang Selatan)
Meraih medali emas Olimpiade Biologi Internasional Ke-20 pada 12-18 Juli di Tsukuba, Jepang.
Agasha Kareef Ratam (Sekolah Dasar Islam Al-Azhar Jakarta)
Meraih medali emas pada 3rd Wizards Mathematics International Competition di Lucknow, India, 27 Oktober hingga 2 November. Juga meraih emas dan Best Exploration pada 6th International Mathematics and Science Olympiad di Yogyakarta pada 8-14 November.
Koyuki Atifa Rahmi (Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Malang)
Meraih medali emas pada 6th International Mathematics and Science Olympiad di Yogyakarta, 8-14 November.
Azarya Jodi Setyaki (SD Marsudirini Bekasi)
Meraih emas cabang catur kategori standar beregu putra dan kategori cepat beregu putra pada kejuaraan The 3rd ASEAN Primary School Sport Olympiad di Jakarta, 3-8 November.
2010
Masruri Rahman (SMPN 78 Jakarta)
Meraih medali emas 5th World School Chess Championship Greece di Yunani.
Sayyidathu Thifal Atqiyya dan Zuraidah Hanifah (Madrasah Techno Natura Depok)
Membuat robot ekosistem (Eco-Bot) dipresentasikan kepada NASA.
Leuan Andalver Noble dan Habib Adib Wahono (Madrasah Techno Natura Depok)
Membuat teleskop robotik (T-Bot).
Muhammad Kautsar, Dian Sartika Sari, Dhicha Putri Maharani, dan Hidayu Permata Hadi (SMAN 6 Yogyakarta)
Meraih medali emas dalam kompetisi sains di International Conference of Young Scientist untuk kategori bidang lingkungan. Penelitian mereka tentang potensi biji mahogany sebagai bahan bakar alternatif dan obat nyamuk.
Healtha Padmanusa dan Nabila Binti Ahmad Anshori (SMA Semesta Bilingual Boarding School Semarang)
Meraih medali perak dan perunggu pada International Sustainable Energy Engineering and Environment Project Olympiad pada 14-19 April di Houston Texas, Amerika Serikat. Keduanya memanfaatkan ekstrak biji tanaman senduduk (Melastoma malabathricum) sebagai pengganti silikon untuk bahan membuat solar cell.
Dhora Vasminingtya dan Nila Sutra (SMAN 1 Ponorogo, Jawa Timur)
Meraih medali perunggu untuk kategori rekayasa teknologi di forum International Sustainable Energy Engineering and Environment Project Olympiad. Keduanya membuktikan, sekam atau kulit padi memiliki kekuatan dua kali lipat sebagai suplemen beton bangunan.
Mutiah Humaira dan Shinta Erdiana (SMA Kharisma Bangsa Tangerang Selatan)
Meraih honorable mention untuk kategori energi dalam International Sustainable Energy Engineering and Environment Project Olympiad. Keduanya membuat biobriket dari bahan biomassa, seperti tongkol jagung, dedaunan, dan ranting.
**Anda bisa mengunduh artikel paling bawah dalam bentuk PDF di sini..
Sumber: Koran Tempo, 23 Mei 2010