Daerah Kepala Burung di Papua Barat menjadi surga bagi keragaman hayati dunia. Spesies baru terus ditemukan di perairan maupun daratannya, namun diperkirakan masih banyak lagi yang belum diidentifikasi terutama di dataran tinggi Arfak.
Sepanjang tahun 2017, ditemukan spesies baru udang air tawar di Sungai Warsamson, Papua Barat, yaitu Cherax warsamsonicus.Temuan ini dilaporkan jurnal ZooKeys. Tahun yang sama juga ditemukan spesies baru anggrek, yaitu Trichotosia gabriel-asemiana di Tambrauw dan Dendrobium spiculatum di dataran tinggi Arfak, Papua Barat. Temuan Trichotosia gabriel-asemiana dilaporkan di jurnal Reinwardtia-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sedangkan Dendrobium spiculatum dilaporkan di Malesian Orchid Journal.
“Dendrobium spiculatum merupakan jenis endemik dataran tinggi Arfak. Sejauh ini hanya di temukan di sana. Tetapi bisa jadi suatu saat ditemukan juga di tempat lain,” kata Jimmy Frans Wanma, Kepala Laboratorium Biologi dan Perlindungan Hutan, Fakultas KehutananFakultas Kehutanan Universitas Papua, di Manokwari, Kamis (8/3), yang turut dalam penemuan spesies baru anggrek dataran tinggi Arfak ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AHMAD ARIF–Sarang burung namdur polos (Amblyornis inornatus) atau yang kerap disebut sebagai burung pintar. Burung namdur ini memiliki ciri khas sarangnya di tanah yang unik dengan bentuk seperti rumah honei dan di depan sarang biasanya dijajar dengan rapi aneka jenis buah hutan hingga serangga yang dikelompokkan berdasarkan warna tertentu.
–Danau Anggi Gida merupakan satu dari dua danau di dataran tinggi Arfak yang titik tertingginya mencapai 2.940 meter dari permukaan laut.
Bersama Jimmy, Kompas menelusuri dataran tinggi Arfak hingga di sekitar Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gida dengan titik tertingginya mencapai 2.940 meter dari permukaan laut. Sepanjang perjalanan hutan lebat menyelimuti kawasan ini. Aneka jenis anggrek hutan tumbuh subur di atas pepohonan dan belukar.
“Dataran tinggi Arfak merupakan benteng utama keragaman hayati di daerah Kepala Burung, Papua Barat. Selama ini selamat dari eksploitasi karena kondisi medannya yang curam sehingga aksesnya sulit bagi pembalakan. Selain itu, pegunungan Arfak telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak lama,” kata Jimmy.
Dataran tinggi Arfak merupakan benteng utama keragaman hayati di daerah Kepala Burung, Papua Barat.
Pemerintah telah menetapkan Cagar Alam Pegunungan Arfak melalui keputusan Menteri Kehutaan Nomor 783 Tahun 1992. Dalam keputusan ini disebutkan, luas cagar alam membentang 68.325 hektar. Kawasan ini memiliki ekosistem hutan hujan dataran rendah yang memiliki ketinggiankuarang dari 300 meter, hujan hujan kaki gunung di ketinggian 300 – 1.000 meter, dan hutan hujan dataran tinggi di ketinggian di atas 1.000 meter. Variasi zona ekosistem ini membuat kawasan Arfak memiliki keragaman hayati tinggi.
Data dari sejumlah penelitian, di kawasan ini ditemukan sedikitnya 110 spesises mamalia, 320 jenis burung dan lima di antaranya merupakan endemik di kawasan Arfak hingga Tambrauw. Di antaranya cenderawasih arfak (Astrapia nigra) dan namdur polos (Amblyornis inornatus) atau yang kerap disebut sebagai burung pintar.
Burung namdur ini memiliki ciri khas sarangnya di tanah yang unik dengan bentuk seperti rumah honei dan di depan sarang biasanya dijajar dengan rapi aneka jenis buah hutan hingga serangga yang dikelopokkan berdasarkan warna tertentu.
“Untuk jenis burung pendataannya sudah cukup baik, namun masih banyak flora dan fauna di Arfak yang belum terpetakan sehingga masih sangat terbuka bagi penelitian,” kata dia.
Sumber hidup
Tidak hanya menjadi rumah bagi keragaman flora dan fauna, hutan hujan tropis di Dataran Tinggi Arfak juga penyangga kehidupan bagi sedikitnya 12.000 jiwa empat suku yang bermukim disini yakni Hatam, Meyakh, Sough, dan Moley. Namun demikian, menurut Jimmy, keberadaan masyarakat yang lebih dulu ada sebelum cagar alam ini bukan ancaman bagi pelestarian alam.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Cagar Alam Pegunungan Arfak yang membentang 68.325 hektar merupakan benteng keragaman hayati di Papua.
Masyarakat di kawasan lindung ini telah memiliki aturan adat untuk menjaga lingkungan. “Masyarakat di Pegunungan Arfak tidak akan berani berburu burung atau satwa yang dilindungi. Kalau sampai melanggar denda adatnya sangat mahal,” kata Hans Mandcan, tokoh masyarakat Kampung Kwau, Distrik Warmare.
Masyarakat di kawasan lindung Pegunungan Arfak memiliki aturan adat untuk menjaga lingkungan. Masyarakat tidak akan berani berburu burung atau satwa yang dilindungi. Kalau sampai melanggar denda adatnya sangat mahal.
Hans yang juga pemandu untuk wisatawan ini mengatakan, kesadaran untuk menjaga lingkungan menguat seiring mulai hidupnya usaha wisata, utamanya bird watching. Sebagian hasil usaha wisata ini akan diserahkan ke desa. “Tahun lalu saya serahkan dana ke desa Rp 70 juta dari hasil memandu wisatawan dan penginapan,” kata dia.
Jimmy mengatakan, ancaman terhadap lingkungan terutama datang dari pemekaran Kabupaten Pegunungan Arfak pada tahun 2012 yang diikuti pembukaan jalan dan gedung-gedung pemerintahan. “Ini mungkin satu-satunya kabupaten baru yang dibangun di dalam cagar alam,” kata Jimmy.
Seperti diberitakan sebelumnya, Papua Barat kini bergerak menjadi provinsi konservasi dengan mencadangkan sekitar 70 persen luas wilayahnya sebagai kawasan lindung. Selain untuk menjaga keanekaragaman hayati yang dimilikinya, paradigma pembangunan ini dinilai lebih sesuai bagi masyarakat adat Papua.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 9 Maret 2018