Masyarakat Indonesia umumnya baru mengenal tsunami setelah bencana ini melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Padahal, 12 tahun sebelum di Aceh, tsunami pernah melanda Pulau Flores. Setelah 25 tahun, kesaksian para korban tsunami Flores ini penting untuk dibuka kembali guna membangun kesiapsiagaan menghadapi ancaman ke depan.
Sebelum bencana Aceh, tsunami yang melanda Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur pada 12 Desember 1992 itu merupakan yang terkuat sejak kemerdekaan Indonesia. Secara global, tsunami Flores termasuk ke dalam 10 tsunami paling mematikan.
Sebanyak 2.080 orang tewas akibat tsunami itu, 1.490 korban tewas berasal dari Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dan 590 korban berasal dari Pulau Babi. Sebanyak 28.118 rumah, 785 bangunan sekolah, 307 masjid, serta 403 ruko dan perkantoran hancur. Kehancuran ini sangat besar mengingat pada 1992 tingkat kepadatan penduduk di Maumere dan sekitarnya tidak setinggi saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, sebagian saksi mata tsunami Flores tersebut telah meninggal. Generasi baru yang kini tinggal di tapak bencana tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang tsunami itu.
“Periode 25 tahun pascatsunami Flores pada Desember 1992 dinilai sangat kritis. Bagaimana pengetahuan dan pelajaran dari bencana yang menewaskan ribuan orang itu bisa diwariskan ke generasi baru,” kata Abdul Muhari, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Muhari merupakan Ketua Panitia International Tsunami Symposium atau pertemuan ahli tsunami dunia ke-28 pada 21-26 Agustus lalu di Bali. Sebanyak 132 ilmuwan tsunami dari 21 negara mengikuti simposium ini dan sebagian kemudian mengikuti studi lapangan ke Flores.
Di antara ahli itu, Fumihiko Imamura dan Tomoyuki Takahashi, dari Universitas Tohoku, Jepang, turut dalam tim internasional yang melakukan survei di Flores dua minggu setelah tsunami. Mereka survei di 40 lokasi terdampak di pesisir Flores dan Pulau Babi.
Dari aspek ilmu pengetahuan, tsunami Flores yang paling lengkap dokumentasi saintifiknya. Dari segi pemberitaan media, tsunami Flores juga terekam dengan cukup baik di media-media di Indonesia. Harian Kompas, misalnya, selama satu tahun (12 Desember 1992-12 Desember 1993) merekam 132 artikel tentang tsunami Flores.
Menurut Muhari, tsunami Flores menjadi titik awal tradisi survei pascabencana para ilmuwan dunia. Selain tim dari Jepang, juga datang peneliti dari Amerika Serikat yang juga melakukan survei saat itu. “Pada tahun-tahun itu, kita belum memiliki ahli tsunami,” katanya.
Survei dari tim internasional tersebut, yang kemudian dipublikasikan dalam beberapa paper ilmiah, inilah yang hingga kini menjadi sumber informasi utama tentang tsunami Flores. Misalnya, dalam paper yang ditulis Yoshinobu Tsuji bersama Matsutomi, Imamura, Takahashi, dan sejumlah peneliti lain pada 1995, diketahui, tsunami melanda pesisir utara Pulau Flores hanya beberapa menit setelah gempa. Cepatnya kedatangan tsunami ini karena pusat gempa sangat dekat dengan daratan.
Tsunami Flores datang berturut-turut hingga empat kali. Sejumlah saksi menyebutkan, sebelum tsunami pertama, laut sempat surut. Disebutkan, sebanyak 80 persen rumah di Kampung Wuring, sekitar 2 kilometer barat daya Kota Maumere, tersapu tsunami. Sebanyak 87 orang dari 1.400 penduduknya saat itu tewas. Tinggi tsunami di Wuring sekitar 2,5-3,2 meter.
Dalam paper itu juga disebutkan, semua Kampung Riangkroko di Tanjung Bunga, di bagian tenggara Pulau Flores, hancur karena ketinggian tsunami yang mencapai 26,2 meter. Sebanyak 137 penduduk yang tinggal di kampung ini lenyap.
Tingginya gelombang tsunami di Riangkroko ini sangat menarik, tetapi saat itu belum diketahui sebabnya. Melalui survei kedua yang dilakukan pada 1994, Imamura menemukan, tingginya tsunami di Riangkroko ini dipicu terjadinya longsoran tebing setinggi lebih dari 30 meter di sekitar kawasan ini.
Mitigasi ke depan
Kedahsyatan tsunami yang melanda Flores tahun 1992 itu masih diingat betul oleh para saksi mata yang ditemui selama survei lapangan di Kampung Wuring pada Kamis (24/8). Rahman Boka (60), salah satu warga, mengatakan, gempa bumi saat itu dirasakan sangat kuat. “Kami tak bisa berdiri kalau tidak pegangan. Rasanya tanah seperti naik-turun,” katanya.
Mammud (50) menambahkan, gempa mengayun rumah panggungnya, tetapi tidak sampai roboh. “Rumah-rumah kayu saat itu lebih kuat (tahan) gempa. Rumah-rumah baru hancur setelah tsunami,” katanya.
Tsunami pertama, menurut Mahmud, datang kurang dari 10 menit setelah gempa, tetapi gelombangnya tidak tinggi. “Kami saat itu berlindung di dalam masjid. Gelombang kedua dan ketiga yang paling tinggi, sekitar 3 meter,” katanya. Batas air tsunami yang tinggi sekitar tiga meter itu masih tertera di tembok luar masjid.
“Kami hanya beruntung saja bisa selamat walaupun sempat terseret air. Banyak keluarga kami tidak selamat. Sebelum 1992, kami sama sekali tidak tahu tentang tsunami. Kalau gempa-gempa sudah sering,” kata Yuriati (35), warga Wuring.
Setelah tsunami, beberapa warga Kampung Wuring yang selamat berpindah ke Nangahure, sekitar 8 kilometer ke arah perbukitan. Namun, sebagian besar warga menolak pindah. Bahkan, mereka yang sudah pindah ke perbukitan kebanyakan kembali menetap di Wuring. Wuring kembali disesaki warga.
Jamal (50), warga, mengatakan, warga Wuring yang mayoritas nelayan sulit dijauhkan dari pantai. Karena itu, mereka terpaksa berdamai dengan risiko gempa dan tsunami yang bisa kembali terjadi. “Dulu banyak yang meninggal karena tidak ada jalan menyelamatkan diri. Sekarang sudah dibuat jalan. Selain itu juga, dulu warga belum tahu setelah gempa bisa terjadi tsunami. Yang penting sekarang, bagaimana pengalaman kita di masa dulu bisa tetap tersampaikan ke anak-anak,” katanya.
Namun, perekayasa teknologi bencana dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Udrekh, mengkhawatirkan kualitas bangunan warga yang saat ini rata-rata berupa tembok. “Batu bata kalau tidak didesain tahan gempa memang lebih rentan roboh saat gempa dibandingkan dengan rumah panggung dari kayu. Akan sulit menyelamatkan diri jika saat gempa saja sudah banyak rumah yang rusak,” katanya.
Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, kepada tim peneliti tsunami mengatakan, tsunami 1992 harus terus diingat masyarakat. Karena itu, dia membangun monumen peringatan tsunami yang akan diresmikan pada Desember mendatang.
Meskipun demikian, sekadar mengingat saja tidak cukup. Dibutuhkan langkah-langkah nyata untuk mengurangi risiko, terutama bagi warga yang kembali memadati kawasan pesisir. Apalagi, Pulau Flores dikepung oleh dua sumber gempa. Selain dari sesar di sisi utara pulau yang memicu tsunami pada 1992, Pulau Flores juga rentan terdampak tsunami akibat gempa dari zona subduksi di selatan.–AHMAD ARIF
———
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2017, di halaman 13 dengan judul “Pelajaran Setelah 25 Tahun Bencana”.
———————————————————–
Pengetahuan Baru Karakter Tsunami dari Pulau Babi
Tsunami yang melanda Laut Flores 25 tahun lalu masih menyisakan pertanyaan di dunia ilmu pengetahuan sekaligus persoalan sosial bagi para penyintas. Penduduk Pulau Babi yang selamat dari tsunami kini menghadapi dilema, antara kembali ke pulau mereka atau tinggal di lahan relokasi yang tak memadai.
Pulau seluas 5,63 kilometer persegi ini berada sekitar 5 km di utara Pulau Flores. Pulau ini berjarak sekitar 40 km dari pusat gempa M 7,8 yang mengguncang lepas pantai kota Maumere pada Sabtu, 12 Desember 1992, pukul 13.29 Wita.
Sekalipun bukan berada di titik terdekat sumber gempa, Pulau Babi terdampak paling parah. Dari total 2.080 korban jiwa saat itu, 700 orang berasal dari Pulau Babi. Jumlah korban itu lebih dari separuh jumlah penduduk pulau tersebut.
Khairudin (65), penyintas tsunami dari Pulau Babi, mengatakan, setelah tsunami, tak ada satu bangunan pun tersisa. “Tsunami terjadi tiga kali. Ombak pertama datang sekitar 5 menit setelah gempa. Tidak terlalu tinggi, saya masih bisa lari bersama istri sambil membawa tiga anak ke masjid,” katanya kepada para peneliti tsunami beberapa negara yang mengunjungi Pulau Babi pada 25 Agustus lalu.
Sekitar 10 menit kemudian, gelombang tsunami kedua datang dan mencapai masjid yang berjarak sekitar 100 meter dari pantai, tetapi tidak sampai merusaknya. Sebagian orang yang mengungsi di masjid pun mulai berlari ke bukit yang berjarak sekitar 500 meter dari pantai, termasuk Khairudin. Namun, 20 menit kemudian, gelombang ketiga keburu menerjang.
“Ombak ketiga paling kuat dan menyeret kami. Tinggi airnya lewat pohon kelapa. Saya dan istri terbawa hingga ke bukit, tetapi tiga anak kami hilang,” katanya.
Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, mengatakan, kesaksian jeda waktu antara gelombang pertama dan ketiga yang menghancurkan permukiman di Pulau Babi merupakan informasi yang sangat penting.
Informasi penyintas ini, kata VK Gusiakov, profesor tsunami dari Rusia, sangat berbeda dengan kebanyakan literatur ilmiah yang tersedia. Meski bisa jadi bias, bagi Gusiakov, informasi ini bisa saja membuka tabir baru untuk memahami kedahsyatan tsunami di Pulau Babi. Apalagi, belum ada data survei parameter tsunami yang lengkap di pulau itu, baik tinggi maupun waktu tiba tsunami.
Informasi waktu tiba tsunami yang tersedia hanya dari estimasi waktu tempuh gelombang berdasarkan analitis Tsuji dkk (1995). Disebutkan, gelombang tsunami tiba di Pulau Babi 3 menit setelah gempa dan menghancurkan dua desa di pulau berdimater 2,5 km ini. Ketinggian tsunami 3,6-5,6 meter.
Informasi lain berasal dari pemodelan Minoura dkk (1997) yang menyebutkan jarak waktu gelombang pertama dan ketiga mencapai 23 menit. Gelombang ketiga setinggi 2 meter. “Informasi di jurnal yang ada belum bisa menjawab hilangnya pohon kelapa dan bangunan di pesisir barat Pulau Babi akibat tsunami,” ujar Muhari.
Kajian Minoura tentang adanya gelombang ketiga konsisten dengan kesaksian penyintas. Dari kesaksian penyintas ini, Gusiakov dan Muhari berhipotesis, gelombang ketiga yang menghancurkan Pulau Babi merupakan pantulan dari tsunami yang menghantam pesisir utara Pulau Flores. Ketinggian tsunami ini sebelumnya teramplifikasi karena posisinya di belakang Pulau Babi, seperti analisis Stefanakis (2014). Hipotesis ini dikuatkan dengan data survei Tshuji (1995) yang menyebutkan, tsunami di pesisir Flores yang berhadapan dengan Pulau Babi juga tinggi, antara 4,5 meter (di Nebe) dan 5,5 meter (di Wailamung).
Persoalan sosial
Tak hanya memberi perspektif baru untuk memahami mekanisme tsunami di pulau kecil, kesaksian para penyintas juga menyingkap persoalan sosial setelah bencana. Setelah tsunami 1992, warga Pulau Babi yang selamat dipindahkan di Nangahale, Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Namun, relokasi warga ke Nangahale ternyata memiskinkan para penyintas karena mereka kehilangan sumber daya penopang hidup.
“Kami tidak punya tanah untuk berkebun. Lahan di relokasi untuk rumah saja tidak cukup. Bahkan, banyak yang belum jelas status tanahnya. Terpaksa satu rumah dihuni dua sampai tiga keluarga,” ujar Khairudin.
Keterbatasan ruang hidup ini membuat sebagian warga mulai membangun kembali rumah sementara di Pulau Babi. Tiap tahun jumlahnya bertambah. Saat ini, total 50 rumah telah dibangun kembali di Pulau Babi. Rumah ini biasa dipakai untuk menunggu ladang dan ternak.
“Jika diizinkan, kami lebih memilih kembali tinggal di Pulau Babi,” kata Khairudin.
Studi Teddy Boen dan Rohit Jigyasu (2000) menyimpulkan, model relokasi Pulau Babi setelah gempa dan tsunami bermasalah. “Relokasi seharusnya tidak sekadar memindahkan orang dan keluarga, tetapi memindahkan komunitas,” ujar Teddy.
Persoalan seperti ini kerap ditemui di sejumlah daerah lain terdampak bencana. Irina Rafliana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang turut dalam survei lapangan, mengatakan, korban tsunami Kepulauan Mentawai tahun 2010 mengalami persoalan serupa.
Pemerintah merelokasi warga Pagai Utara yang semula tinggal di pesisir ke daerah pedalaman. Namun, pemindahan ini tidak diikuti dengan penyediaan lapangan hidup. Para korban pun membangun kembali rumah di bekas desa lama mereka.
Menurut Irina, persoalan yang kerap terjadi dalam tahap rehabilitasi setelah bencana ini dipicu kegagalan dalam memahami kompleksitas bencana. Risiko bencana tidak bisa dipisahkan dengan persoalan sosial ekonomi.
Udrekh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang melakukan pemetaan spasial di Pulau Babi mengatakan, dari aspek spasial, Pulau Babi memiliki perbukitan yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari pantai. Jika mau ditempati kembali, sebaiknya tata ruangnya diatur. “Secara teknis memungkinkan,# katanya.(AHMAD ARIF)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Pengetahuan Baru Karakter Tsunami dari Pulau Babi”.