Infeksi malaria jenis baru yang berasal dari parasit Plasmodium knowlesi semakin banyak dilaporkan dari berbagai wilayah Indonesia. Penyebaran parasit yang sebelumnya hanya menjangkit hewan ini harus lebih diwaspadai karena risiko kematian yang bisa ditimbulkan lebih besar dari jenis parasit lainnya.
Sebagian besar kasus infeksi Plasmodium knowlesi ditemukan di negara Asia Tenggara. Tahun 2004, kasus mulai banyak ditemukan di Sabah dan Sarawak, Malaysia. Temuan pun terus dilaporkan dari negara Asia Tenggara lain.
JAMES GATHANY/CDC VIA AP, FILE–Plasmodium knowlesi merupakan penyebab kelima infeksi malaria pada manusia setelah P vivax, P falciparum, P malariae, dan P ovale. Infeksi ini perlu diwaspadai karena risiko kematiannya bisa lebih besar dari jenis parasit lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 2014, Kementerian Kesehatan telah mencatat ada 13 kasus malaria knowlesi yang didiagnosis di Indonesia. Penularannya terjadi secara lokal di sekitar hutan di Kalimantan serta Sumatera Utara.
Jumlah ini terus meningkat. Sampai tahun 2015, sebanyak 377 kasus malaria knowlesi tercatat dengan sampel yang diambil dari Sumatera Utara. Pada 2018, dua kasus kembali ditemukan di Aceh dari 100 sampel yang diambil.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi yang dihubungi di Jakarta, Kamis (25/4/2019) mengatakan, malaria Plasmodium knowlesi tidak termasuk jenis human parasit karena belum ada bukti kuat terjadi penularan dari manusia ke manusia. Meski begitu, masih dibutuhkan banyak penelitian lanjutan terkait penularan parasit ini.
“Penelitian terus kami lakukan mengingat semakin banyaknya laporan kasus penularan malaria knowlesi. Sistem surveilans dan diagnosis terus diperkuat, terutama di daerah yang rentan terjadi penularan seperti daerah yang berbatasan dengan hutan,” katanya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Siti Nadia Tarmizi
Kera inang parasit
Inang alami parasit Plasmodium knowlesi yaitu jenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kera ekor babi (Macaca nemestrina), dan langur (Presbytis melalophos). Jenis kera ini banyak dijumpai di kawasan hutan di Asia Tenggara.
Semakin dekatnya hunian penduduk dengan hutan dan meningkatnya eksploitasi hutan baik untuk industri maupun pariwisata diduga menjadi penyebab peningkatan kasus malaria jenis ini.
Plasmodium knowlesi (P knowlesi) dikenal sebagai penyebab kelima infeksi malaria pada manusia setelah P vivax, P falciparum, P malariae, dan P ovale. Dari keliman jenis ini, P falciparum dan P vivax merupakan jenis parasit yang paling sering dijumpai.
Konsultan penyakit tropik dan infeksi dari Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Erni Juwita Nelwan menyebutkan, siklus parasit knowlesi lebih cepat dibanding jenis parasit malaria lain. Hal ini menyebabkan jumlah parasit P knowlesi dalam tubuh meningkat dengan cepat sehingga gejala klinis yang timbul bisa menjadi lebih berat.
Pada infeksi P knowlesi, siklus pembelahan diri terjadi dalam waktu 24 jam. Lebih cepat dibandingkan siklus 48 jam pada P vivax, P ovale, dan P falciparum. Sementara, pada P malariae terjadi selama 72 jam. Setiap kali sel-sel membelah akan terjadi serangan demam.
DOKUMEN PRIBADI–Erni Juwita Nelwan
“Infeksi Plasmodium knowlesi berpotensi menjadi penyakit yang berat. Untuk itu, diagnosis dini, pemberian antimalarial segera, serta monitoring dan antisipasi komplikasi menjadi sangat penting. Meski belum ada panduan khusus pengobatan, terapi obat antimalaria masih efektif,” katanya.
Gejala yang muncul dari infeksi parasit ini tidak berbeda dengan jenis lainnya. Biasanya, pasien akan mengalami demam menggigil dan kaku yang disertai dengan gejala lain seperti sakit kepala, nyeri otot dan sendi, penurunan napsu makan, serta gangguan saluran cerna dan pernapasan.
Pada kasus yang parah, gejala klinis yang timbul antara lain adalah distres pernapasan, gagal ginjal, tekanan darah rendah, serta menurunnya trombosit. “Kunci dari penanganan penyakit ini adalah cepat dideteksi dan diobati. Dengan begitu, risiko kematian bisa dihindari,” kata Erni.
Kendala deteksi
Nadia menambahkan, deteksi infeksi malaria knowlesi masih terkendala. Pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan di laboratorium tidak dapat secara tepat mendeteksi infeksi parasit tersebut.
Deteksi baru bisa terlihat melalui pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang canggih, biaya yang mahal, serta tenaga laboratorium yang terlatih. Padahal, sebagian besar kasus infeksi ditemukan di daerah yang jauh dari fasilitas tersebut. “Selama ini, pemeriksaan baru dilakukan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes,” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 25 April 2019