Paradigma masyarakat memandang keanekaragaman hayati di Indonesia perlu diubah. Indonesia jangan lagi dilihat sebagai negara dengan megabiodiversitas, melainkan negara dengan ancaman kerusakan ekosistem yang tinggi. Dengan begitu, desakan perlindungan terhadap lingkungan semakin kuat dan pembangunan nasional lebih sejalan dengan upaya konservasi.
Profesor riset bidang taksonomi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010-2017, Dedy Darnaedi, menuturkan, status megabiodiversitas membuat Indonesia terjebak dengan kekayaan tersebut tanpa melakukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berarti. Kondisi terkini justru sebaliknya, keanekaragaman hayati di Indonesia semakin terancam.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Ilustrasi – Masyarakat dari berbagai unsur mengikuti pelepasliaran tukik atau anak penyu dalam acara yang diselenggarakan Nusa Biodiversitas Indonesia dan Project Why Not di kawasan Pantai Klui, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (20/7/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Paradigma baru yang harus dibangun adalah Indonesia sebagai negara dengan titik panas yang tinggi, laju deforetasi yang cepat, serta ancaman kepunahan hayati yang besar. Jadi, tidak ada lagi konversi hutan dan lahan tetapi restorasi ekosistem,” ujarnya dalam konferensi internasional bertajuk “Pembangunan Berkelanjutan terhadap Keanekaragaman Hayati Indonesia” di Universitas Nasional, Jakarta, Senin (21/10/2019).
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Profesor riset bidang taksonomi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010-2017, Dedy Darnaedi saat memberikan pidato kunci dalam konferensi internasional bertajuk “Pembangunan Berkelanjutan terhadap Keanekaragaman Hayati Indonesia” di Universitas Nasional, Jakarta, Senin (21/10/2019).
Ia menambahkan, pembangunan nasional jangan lagi menekankan pada eksploitasi sumber daya alam melainkan pemberdayaan sumber daya manusia. Selain itu, pengambilan bahan mentah dari alam sebagai bahan baku tidak boleh dilakukan lagi. Pemanfaatan tanaman budidaya harus lebih didorong agar ekosistem asli bisa terjaga.
Pemanfaatan masih terbatas
Dedy mengatakan, potensi manfaat dari keanekaragaman hayati Indonesia kini masih terbatas. Pemanfaatannya hanya mengikuti permintaan pasar. Padahal, banyak potensi keanekaragaman hayati yang ada belum terungkap secara ilmiah.
“Riset terhadap kekayaan biodiversitas atau keanekaragaman hayati Indonesia perlu lebih digalakkan untuk mengungkap potensi manfaat secara lebih luas. Pengembangan menjadi mutlak agar biodiversitas punya nilai tambah sehingga bisa lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia sekaligus dapat menjaga keseimbangan ekosistem di alam,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Ilustrasi – Sungai menjadi akses utama ke Kampung Berua, Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (19/6/2019). Bentangan alam karst menjadi salah satu kekayaan Kabupaten Maros yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Selain kaya keanekaragaman hayati, kawasan karst di sini juga menyimpan jejak-jejak kehidupan prasejarah.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nasional (Unas) Ernawati Sinaga menyampaikan, keanekaragaman hayati Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan pengobatan. Ikan gabus (Channa striata), misalnya, memiliki kandungan protein sebesar 25,2 persen. Jumlah ini lebih tinggi dari protein ikan bandeng, kakap, dan mas.
“Dari sisi pengobatan, ikan gabus juga berkhasiat untuk melindungi fungsi hati, meningkatkan penyembuhan luka, antidepresan, dan memperbaiki status pasien tuberkulosis. Manfaat yang luar biasa ini seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat,” tuturnya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Kandungan Protein pada Ikan
Manajer Regional PT Daemeter Consulting Godwin Limberg berpendapat, luasnya kawasan Indonesia dengan berbagai macam kondisi dan budaya menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan. Untuk itu, basis data yang disimpan secara baik dengan memanfaatkan teknologi informasi sangat diperlukan untuk mempermudah monitoring dan evaluasi di seluruh wilayah.
Keseimbangan antara upaya perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati juga perlu dilakukan secara inovatif. “Kolaborasi lintas sektor bisa diperkuat untuk mewujudkan keseimbangan tersebut,” ucapnya.–DEONISIA ARLINTA
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 21 Oktober 2019