Penularan Covid-19 terus terjadi di sepanjang jalur pantai utara Jawa. Hal itu, antara lain, dipicu tingginya pergerakan penduduk tanpa diiringi pemantauan yang ketat antarwilayah.
Jalan darat di pantai utara yang menjadi urat nadi transportasi di Pulau Jawa telah menjadi pusat penularan Covid-19. Daerah-daerah yang dilaluinya memerah atau memiliki jumlah kasus positif tinggi, terutama di rute Surabaya hingga Semarang.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Selasa (7/7/2020), menyebutkan, kasus positif Covid-19 bertambah 1.268 orang pada kemarin siang sehingga kini total 66.226 kasus. Dari jumlah itu, 3.309 orang meninggal dan 30.785 pasien sembuh. Daerah dengan kasus terbanyak, antara lain, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Epidemiolog Laporcovid19.org, Iqbal Elyazar, di Jakarta, Selasa (7/7) mengatakan, tanpa adanya pembatasan antar wilayah yang ketat, penularan Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru di Indonesia akan mengikuti jalur transporasi. Dalam skala pulau, jalur transporatasi darat jadi titik rentan.
“Pantura Jawa termasuk yang paling rentan, khususnya dari rute Surabaya hingga Semarang,” kata Iqbal.
Tingginya kerentanan penularan Covid-19 di Jalur Pantura ini ditunjukkan dengan tingginya kasus dan total kematian yang tercatat di wilayah yang dilalui jalur ini. Sebagai contoh, 15 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang dilalui Jalur Pantura telah menyumbangkan total 77 persen kasus positif di provinsi ini. Sedangkan jumlah korban yang meninggal di 15 kabupaten ini mencapai 75 persen dari total korban di seluruh Jawa Tengah.
Untuk Jawa Timur, dari enam kabupaten/kota yang dilalui Jalur Pantura telah menyumbangkan total 70 kasus aktif di seluruh provinsi itu dan 52 persen jumlah korban meninggal dunia.
“Situasi berbeda di Pantura Jabar. Kontribusi kasus dan kematian dari kabupaen/kota yang dilalui jalur ini terhadap total kasus di provinsi relatif kecil. Ini mungkin karena setelah dari Semarang terdapat jalur tol yang mengurangi mobilitas orang antarwilayah di kota-kota Pantura Jawa Barat,” katanya.
Memerahnya Jalur Pantura dari Surabaya ke Semarang ini juga terlihat dalam indeks kewaspadaan yang dibuat Kawalcovid19.id. Indeks ini dibuat berdasarkan total kasus terkonfirmasi, total pasien dalam pengawasan (PDP), tingkat kematian baik terkonfirmasi maupun PDP, jumlah total orang tanpa gejala (OTG) dan orang dalam pemantauan (ODP), jumlah tes yang dilakukan, hingga kepadatan penduduk.
“Tren penularan Jalur Pantura antara Surabaya-Semarang terus meningkat, namun dari Semarang-Jakarta tidak menunjukkan kenaikan risiko walaupun merupakan bagian dari rute yang sama. Di indeks kewaspadaan, hal ini disebabkan kota-kota pantura antara Semarang-Jakarta memiliki rasio lacak-isolasi dan rasio tes lebih baik daripada kota-kota di jalur Surabaya-Semarang,” kata Koordinator Data Kawal-Covid-19.id Ronald Bessie.
Berdasarkan indeks kewaspadaan ini, tiga kota di Jawa Timur memiliki skor tertinggi, yakni Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya. Sidoarjo memiliki nilai 16,07 yang artinya dianggap paling rentan penularan Covid-19, disusul Gresik 15, 83 dan Surabaya 14,55.
Berikutnya, Demak memiliki Indeks Kewaspadaan 9,42, disusul Semarang 8,8, dan Jepara 8,43. Di rute Surabaya-Semarang, hanya Pati, yang nilai indeksnya relatif rendah, yaitu 0,4.
Iqbal menjelaskan, melihat tren perkembangan kasus Covid-19, Jawa Tengah bisa menjadi wilayah berikutnya menyusul Jawa Timur dalam hal penambahan kasus dan korban jiwa. Selain dilalui Jalur Pantura, wilayah Jateng memiliki kapasitas tes relatif kecil dan pelacakan kasus yang dinilai belum optimal.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2 Juli lalu telah menyebutkan, kapasitas tes dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR di Jawa rata-rata masih di bawah standar 1 per 1.000 penduduk per minggu. Jumlah tes minimal ini hanya bisa dipenuhi Jakarta.
Mengutip data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, hingga 6 Juli 2020, jumlah tes PCR di DKI Jakarta telah mencapai 26.527 per sejuta penduduk, sedangkan Banten 2.320 per sejuta penduduk. Adapun jumlah tes PCR di Jawa Tengah baru mencapai 1.777 per sejuta penduduk, Jawa Barat 1.736 per sejuta penduduk, Jawa Timur 1.877 per sejuta penduduk, dan Daerah Istimewa Yogyakarta 5.119 per sejuta penduduk.
Mobilitas lebih tinggi
Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria, juga mengkhawatirkan tingginya penularan Covid-19 di jalur pantura Surabaya-Semarang. ”Area singgah, seperti tempat makan di jalur lintas kota ini, menjadi sumber penularan kalau tidak menerapkan protokol kesehatan,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jateng Yulianto Prabowo mengungkapkan, pergerakan orang ke arah timur Jawa lebih tinggi. ”Perlu pembatasan pelaku perjalanan lebih ketat dari tingkat RT-RW,” ujarnya.
Sesuai dengan protokol kesehatan, pelaku perjalanan harus dikarantina. Hal itu akan lebih efektif jika ada kesadaran warga di lingkungan tempat tinggal.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, dari peta sebaran kasus, ada korelasi antardaerah di Jateng ke arah timur Jawa. Data itu bisa menjadi dasar analisis penanganan Covid-19 di Jateng.
Menurut Ganjar, pihaknya telah membuat enam satuan koordinator wilayah di enam eks karesidenan demi mempercepat penanganan dan pemutakhiran data Covid-19. Pihaknya juga fokus melaksanakan tes PCR kepada ODP, PDP, dan kontak erat pasien Covid-19, karena sumber daya terbatas.
Pantura Jabar
Di jalur pantura Cirebon dan Indramayu, Jabar, tingginya mobilitas warga juga memicu lonjakan kasus Covid-19. Apalagi pos pengecekan kendaraan di perbatasan tak lagi beroperasi. Hampir semua kasus baru dan kluster penularan di daerah itu berawal dari pelaku perjalanan yang datang dari pusat wabah Covid-19, seperti Jakarta dan Surabaya.
”Kelonggaran keluar masuk orang membuat kami sulit mengendalikan Covid-19,” kata Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmar Yurianto, mengatakan, evaluasi rutin dilakukan Gugus Tugas untuk menentukan peta risiko penularan kasus di tiap wilayah di Indonesia. Setiap kepala daerah pun diminta bertanggung jawab dengan kondisi penularan di wilayahnya.
Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universias Gadjah Mada, Bayu Satria mengkhawatirkan, tingginya penularan Covid-19 di jalur pantura Surabaya-Semarang kemungkinan karena banyaknya area persinggahan yang belum menerapkan protokol kesehatan.
“Area singgah seperti tempat makan di jalur lintas kota ini kalau tidak menerapkan protokol kesehatan akan menjadi sumber penularan. Dari tempat singgah ini, virus bisa menyebar ke sekitarnya,” tuturnya.
Bayu menyarankan agar, pemerintah kota/kabupaten menerapkan protokol kesehatan yang ketat pada setiap pintu masuk wilayah mereka, terutama di area peristirahatan, stasiun pengisian bahan bakar umum, rumah makan, terminal bus, dan stasiun kereta.
Protokol kesehatan ini meliput pemisahan tempat makan atau tempat singgah bagi orang dari luar kota dengan warga setempat. Selain itu, perlu pemantauan ketat dengan pendataan identitas bagi orang-orang yang masuk ke daerah termasuk mereka yang transit. Jika perlu, jalan tikus antar kota juga ditutup untuk mempermudah pemantauan.
“Pendataan identitas orang yang masuk, termasuk transit, merupakan salah satu komponen terpenting dalam penanganan Covid-19 di daerah tujuan akhir maupun tempat transit pelaku perjalanan. Adanya catatan identitas yang rapi memudahkan pemerintah kota/kabupaten untuk melakukan pelacakan kontak apabila ada kasus yang diduga berasal dari pelaku perjalanan,” tambah Bayu.
Jka tidak ada penjagaan yang ketat antar wilayah, hanya soal waktu terjadi penularan ke berbagai kawasan yang saat ini dianggap aman. “Harusnya kalau suatu daerah masih dianggap hijau, persiapannya lebih ketat, termasuk pemeriksaan di pintu masuk dan penguatan surveilans,” katanya.
Sebagai contoh, setiap orang yang masuk ke daerah itu harus dicatat, sehingga bisa segera dilacak jika ada kasus. “Hijau belum tentu aman kalau daerah sekitarnya merah, hanya soal waktu akan tertular juga kalau tidak dijaga dengan ketat,” ucapnya.
Menurut Bayu, tiap kabupaten/kota seharusnya sudah memiliki kemampuan tes PCR sehingga bisa memeriksa spesimen dengan cepat. Kalau harus dikirim ke daerah lain dan harus antre, akan terlambat mencegah penularan, apalagi jika fasilitas isolasi terbatas. (ADITYA PUTRA PERDANA/MELATI MEWANGI/ABDULLAH FIKRI ASHRI/AHMAD ARIF/DEONISIA ARLINTA)
Oleh TIM KOMPAS
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 8 Juli 2020