Pangan fungsional menjadi tren global, seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mendapat manfaat kesehatan dan mencegah risiko penyakit melalui makanan. Indonesia memiliki peluang besar untuk memproduksi pangan fungsional, namun riset dan regulasi belum sepenuhnya mendukungnya.
AMORPHOPHALLUS MUELLERI–Pengunjung melihat produk pangan olahan berbahan umbi porang yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada dalam Konferensi Pangan ASEAN ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10). Umbi porang atau iles-iles (Amorphophallus muelleri) diketahui kaya glukomanan yang baik untuk diet sehat. Kompas/Ahmad Arif
Perkembangan pangan fungsional itu disampaikan Mary K. Schmidl, Presiden dari International Union of Food Science and Technologi (IUFoST), saat menjadi pembicara kunci dalam Konferensi Pangan ASEAN ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10/2019). Pertemuan itu bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konferensi ini diikuti oleh 500 peneliti dan pelaku bisnis terkait pangan dari ASEAN, selain juga beberapa negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan, Amerika dan negara-negara Eropa. ” Permintaan konsumen terhadap pangan sehat, fungsional, suplemen, dan nutraceuticalstumbuh pesat secara global. Total, nilai pasarnya diperkirakan mencapai 670 miliar dollar AS pada 2024,” ujarnya.
Tingginya permintaan konsumen pangan sehat dan fungsional itu disebabkan ada perubahan perspektif masyarakat. Menurut Schmidl, penyakit kronis seperti kanker, jantung, stroke hingga diabetes telah menjadi pembunuh utama di banyak negara, terutama negara maju. Pola dan ragam makanan tidak sehat dianggap berkontribusi besar memicu masalah kesehatan kronis ini.
Pangan fungsional merupakan bahan makanan yang secara ilmiah terbukti dapat memberi manfaat tambahan di samping fungsi gizi dasarnya. “Makanan fungsional pertama kali dikenalkan di Jepang tahun 1980-an dan dikembangkan untuk mengurangi biaya kesehatan. Sejak itu sudah lebih dari 1.000 ragam makanan fungsional diproduksi, mulai dari beras hipoalergi, hingga minuman kalsium,” ujarnya.
Tantangan di Indonesia
Ahli teknologi pangan dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Sri Raharjo, dalam diskusi terfokus, mengatakan, kebutuhan dan peluang pengembangan pangan fungsional di Indonesia tinggi. Hal ini terjadi seiring dengan menuanya populasi, perubahan gaya hidup kosumen yang menuntut pangan natural dan organik, serta meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya pencegahan penyakit.
Meski masih ketinggalan dibandingkan negara tetangga, jumlah penelitian terkait pangan fungsional di Indonesia meningkat signifikan. Berbasis data Scopus pada Oktober 2019, fokus utama pangan fungsional di Indonesia umumnya meliputi antioksidan, diet serat, probiotik, dan prebiotik.
Menurut Sri, kaitan antara pangan fungsional dan kesehatan masyarakat sudah banyak dikaji secara ilmiah. Sekalipun demikian, hal ini perlu diatur agar tidak terjadi klaim yang keliru, selain juga mencegah dampak negatif dan memantau keamanannya.
Susana dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengatakan, pengembangan pangan fungsional di Indonesia terkendala aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM. Peraturan BPOM tahun 2016 menghilangkan tentang tentang pangan fungsional, salah satunya terkait klaim pangan serat. Padahal, peraturan BPOM tahun 2011 justru mengakui tentang pangan fungsional. Hal ini menyebabkan industri kesulitan mempromosikan pangan fungsional mereka.
Dalam diskusi, Eni Harmayani dari UGM percaya bahwa pangan fungsional bisa meningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Indonesia juga mempunyai sejarah panjang tentang makanan fungsional, di antaranya jamu tradisional. “Kita juga punya mega-biodivesitas yang berpotensi menjadi pangan fungsional, selain riset kita butuh mendorong industri di sektor ini untuk mengurangi risiko penyakit kronis di masyarakat. Ini berpeluang mengurangi beban BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan),” katanya.
Yusra Egayanti, Kepala Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan Tertentu BPOM menambahkan, regulasi akan terus diperbarui. “Ke depan kita bisa pertimbangkan merevisi aturan guna mendukung pengembangan panan fungsional ini, termasuk juga standar untuk uji klinisnya,” kata dia.
Basil Mathioudakis, konsultan legislasi pangan dari Uni Eropa mengatakan, regulasi terkait pangan fungsional dibutuhkan untuk memberi kepastian, baik bagi industri maupun masyarakat. Klaim terkait pangan sehat dan fungsional yang diajukan industri, bisa diverifikasi melalui regulator berbasis kajian ilmiah. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar kehidupan dan ksehatan manusia, serta perlindungan terhadap konsumen.
Sejauh ini terdapat 30 klaim pangan bernutrisi dan 267 pangan klaim pangan untuk kesehatan yang sudah diakui Uni Eropa. Sekalipun demikian, terdapat 2051 klaim dari industri yang tidak diakui dan 2098 klaim pangan untuk kesehatan yang masih ditangguhkan oleh otoritas Uni Eropa.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 17 Oktober 2019