Meningkatnya kesadaran hidup sehat mengubah pola konsumsi warga. Jika sebelumnya jadi vegetarian atau konsumsi pangan organik jadi pilihan, kini berkembang gaya hidup untuk mengonsumsi pangan fungsional dan nutrasetikal.
Tren itu membuat makan tak lagi sekadar menghilangkan lapar, tetapi juga punya manfaat seperti obat untuk menjaga kesehatan, mencegah penyakit, atau memperlambat penuaan. Di Jepang, pola konsumsi pangan fungsional dan nutrasetikal berkembang sejak 1980-an seiring lonjakan populasi warga lanjut usia dan keinginan menjadikan mereka tetap sehat di usia tua.
Ketua Perhimpunan Pegiat Pangan Fungsional dan Nutrasetikal Indonesia C Hanny Wijaya, di Jakarta, Selasa (29/3), mengatakan, pola makan sekaligus untuk menjaga kesehatan itu telah lama berkembang di Indonesia. “Manfaat nutrasetikal di pangan itu tak disadari atau belum terbakukan secara ilmiah,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbagai kuliner Indonesia termasuk pangan fungsional dan nutrasetikal. Aneka lalap terbukti membuat kulit segar. Tempe mengandung isoflavon yang menekan risiko sakit jantung, menguatkan tulang, dan mencegah kanker. Adapun leunca atau Solanum nigrum yang kaya vitamin A membuat mata bagus. Kebiasaan mengunyah bawang merah setelah makan sate kambing menurunkan kolesterol karena kandungan sulfur pada bawang.
Pola hidup warga modern yang ingin praktis membuat bahan pangan yang bisa memberi manfaat obat atau nutrasetikal itu dikembangkan dalam suplemen pangan. Besarnya pasar membuat banyak industri pangan dan farmasi mulai memproduksi pangan fungsional dan nutrasetikal.
“Tren itu akan berkembang seiring membaiknya ekonomi warga,” ucap Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman. Kini, sekitar 10 persen dari jumlah total perusahaan pangan yang menekuni sektor itu dengan suplemen pangan terbanyak diminati antara lain serat, probiotik-prebiotik, antioksidan, dan vitamin B kompleks.
Belum jelas
Sebagai tren baru, belum ada aturan tegas di dunia yang mengatur pangan fungsional dan nutrisetikal yang membedakannya dengan zat obat. Padahal, zat obat mempunyai dosis dan efek tertentu jika dikonsumsi berlebih.
Sekretaris Eksekutif Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara (SEAFAST Center) Puspo Edi Giriwono mengatakan, ketidakjelasan itu membuat batasan pangan dan obat jadi relatif. “Keamanan pangan fungsional dan nutrisetikal perlu kajian lebih dalam,” katanya.
Contoh yang mudah ditemui di masyarakat ialah minuman botol mengandung 1.000 miligram (mg) vitamin C dan dikelompokkan sebagai pangan. Adapun tablet vitamin C 500 mg termasuk obat karena berbentuk tablet. Padahal, kebutuhan vitamin C hanya 90 mg per hari. Kelebihan vitamin C dikeluarkan tubuh bersama cairan.
Tak semua kelebihan zat nutrisetikal aman bagi tubuh. Sejumlah zat nutrisetikal berlebih di tubuh, khususnya yang bersenyawa kompleks, membebani kerja tubuh. Kelebihan vitamin A membebani kerja hati, sementara kelebihan vitamin K memicu penggumpalan darah. “Kebutuhan zat nutrisetikal terpenuhi dengan asupan bergizi seimbang setiap hari,” ujarnya. (MZW)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Pangan Fungsional dan Nutrasetikal Jadi Tren”.