Hepatitis B dan C masih menjadi ancaman kesehatan yang serius di Indonesia. Apalagi, di tengah situasi pandemi Covid-19, deteksi dini dan pengobatan penyakit tersebut terkendala.
Meluasnya pandemi Covid-19 dikhawatirkan menghambat upaya eliminasi hepatitis di dunia, termasuk di Indonesia, karena terjadi penurunan pemeriksaan dini ibu hamil dan pengobatannya. Padahal, hepatitis B dan C masih jadi ancaman global yang masing-masing menewaskan 900.000 orang dan 399.000 orang tiap tahun.
”Pandemi ini memengaruhi pengendalian dan pencegahan hepatitis. Ini terlihat dari penurunan cakupan pelayanan hepatitis B dan C, baik kegiatan deteksi dini maupun pengobatannya,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto dalam diskusi daring memperingati Hari Hepatitis Dunia Ke-11 di Jakarta, Selasa (28/7/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekalipun pandemi Covid-19 berdampak dalam berbagai aspek, upaya pencegahan hepatitis harus dilakukan karena penyakit ini sangat menular dan bisa memicu sirosis atau pengerasan hati hingga kanker hati.
Berdasarkan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi virus hepatitis B di Indonesia sebesar 7,1 persen atau 18 juta orang. Sementara prevalensi hepatitis C sebesar 1,01 persen atau sekitar 2,5 juta orang yang terinfeksi virus tersebut.
Ketua Komite Ahli Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (PISP) David Handjojo Muljono mengatakan, Indonesia termasuk yang memprakarsai agar hepatitis menjadi perhatian dunia. Itu disampaikan dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia yang ke-63 pada tahun 2010, yang menghasilkan resolusi agar semua negara di dunia menanggulangi hepatitis secara komprehensif, sejak pencegahan hingga pengobatan.
”Target eliminasi hepatitis pada 2030 tidak hanya menjadi target WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), tetapi juga jadi agenda PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),” katanya.
Sejak itu, menurut David, Indonesia telah menyusun langkah dalam mencapai target eliminasi hepatitis. Namun, setelah sepuluh tahun jadi kesepakatan global, hepatitis masih menjadi masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia.
Data WHO menunjukkan, secara global, lebih dari 250 juta orang hidup dengan infeksi hepatitis B kronis dan hampir 900.000 orang tiap tahun meninggal karena penyakit ini. Sementara itu, hepatitis C menginfeksi sekiar 71 juta orang dan merenggut nyawa 399.000 orang setiap tahun.
David mengatakan, pemeriksaan yang dilakukan terhadap 2,57 juta ibu hamil dari 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2019 dan menemukan 1,8 persen memiliki HBsAg positif. ”Ini artinya, kalau angka kelahiran sekiar 5 juta per tahun, maka hampir 47.000 ibu hamil berpotensi menularkan virus hepatitis B pada bayinya.
”Minimal sekitar 28.000 bayi menderita hepatitis B dengan risiko menjadi kronis dan selama hidupnya infeksius. Hal ini berarti endemisitas akan terus terjadi,” kata David.
Pandemi Covd-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru telah menunjukkan ada masalah dalam program kesehatan, serta ketahanan masyarakat di sektor kesehatan masih rapuh, khususnya hepatitis. Karena itu, berbagai persoalan kesehatan mesti segera dibenahi.
”Perlu diterapkan strategi, yaitu pendekatan mikroeliminasi hepatitis karena penyakit ini memiliki populasi khusus yang rentan, di antaranya ibu hamil, anak yang belum diimunisasi, tenaga kesehatan, hingga suku terasing. Kita harus mengeliminasi kelompok rentan ini satu per satu,” katanya.
Dampak pandemi
David memaparkan, upaya elimisi hepatitis secara global saat ini terhambat dengan terjadinya pandemi Covid-19. ”Mulai dari Argentina, Thailand, Eropa, hingga Rusia melaporkan adanya gangguan dalam upaya menangani hepatitis ataupaun penyakit lain, seperti HIV. Indonesia juga mengalami hal ini,” tuturnya.
Gangguan ini terjadi karena kunjungan pasien ke fasilitas pengobatan tertunda sehingga keberlangsungan pengobatan terkendala. Selain itu, pelayanan kesehatan terganggu karena pembatasan mobilitas, masalah alat pelindung diri, dan dialihkannyas sebagian ruang perawatan maupun sumber daya untuk menangani Covid-19.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu memaparkan, ibu hamil yang periksa dini hepatitis B terus bertambah tiap tahun. Dalam periode tahun 2015-2019, terjadi peningkatan sekitar 60 persen.
Namun, setelah pandemi Covid-19, terjadi penurunan drastis. Menurut dia, pada Maret-April tahun 2020, jumlah ibu hamil yang periksa dini hepatitis B turun 42 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Bahkan, selama Mei-Juni penurunannya 72 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, periksa dini hepatitis C pada tahun Januari-Febuari 2020 turun 53 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun periode Maret-April 2020 periksa dini tersebut turun 66 persen dibandingkan tahun sebelumnya. ”Situasi ini kemungkinan disebabkan ibu hamil takut ke rumah sakit selama pandemi ini,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 Juli 2020