Pandemi Covid-19 secara global bisa lebih buruk lagi jika tanpa ada penerapan protokol kesehatan secara ketat. Indonesia mesti berhati-hati dalam menetapkan zonasi agar tidak terjebak rasa aman yang palsu.
Pandemi Covid-19 secara global terus meningkat dan situasi bakal lebih memburuk bagi negara yang gagal menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang bisa terdampak lebih buruk lagi, karena mobilitas warga yang meningkat seiring longgarnya pembatasan.
“WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sudah memperingatkan, situasi bisa lebih buruk lagi dan butuh waktu lebih lama untuk mengatasinya. Paling cepat pertengahan tahun depan baru bisa teratasi secara global,” kata Dicky Budiman, epedemiolog Indonesia dari Griffith University Australia, Selasa (14/7/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara global jumlah orang yang terinfeksi mencapai 13,2 juta dan korban jiwa sebanyak 576.432 orang. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam pesan melalui video, Senin (13/7) dari Geneva, Swiss, mengatakan, banyak negara yang menuju ke arah yang salah sehingga wabah ini sulit di atasi.
“Jika dasar-dasar (kesehatan) tidak diikuti, pandemi ini akan semakin buruk dan semakin buruk,” tuturnya.
Tedros mengatakan, dari 230.000 kasus baru pada hari Minggu, sebanyak 80 persen berasal dari 10 negara, dan 50 persen dari hanya dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Brasil. Amerika Serikat kini memiliki 3,4 juta kasus dan korban jiwa 138.273, sedangkan Brazil 1,8 juta kasus dan korban jiwa 72.950.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, jumlah kasus di Indonesia telah mencapai 78.572 dengan penambahan kasus harian 1.591. Sedangkan korban jiwa sebanyak 3.710 orang dengan penambahan per hari 54 orang.
Jumlah kasus di Indonesia saat ini berada di urutan ke-26 terbanyak secara global, hanya selisih 5.033 lebih sedikit dibandingkan China yang berada di urutan ke-23. Dengan penambahan kasus harian di China rata-rata kurang dari sepuluh orang, jumlah kasus di Indonesia diperkirakan bakal melampauinya dalam sepekan ini.
“Kemampuan tes kita memang meningkat dan konsekuensinya jumlah kasus yang ditemukan juga meningkat. Namun, yang perlu dilihat angka positivity rate di Indonesia masih konsisten di atas 10 persen, bahkan rata-rata 11 persen yang menunjukkan banyak kasus di masyarakat belum dideteksi,” kata Dicky.
Sesuai standar WHO, angka positivity rate yang dianggap relatif aman di suatu wilayah di tengah pandemi ini maksimal 5 persen, dengan catatan jumlah tes yang dilakukannya sudah mencapai 1 per 1000 per minggu.
Menurut Dicky, ada sejumlah studi yang menunjukkan, angka positivity rate di atas 10 persen artinya jumlah kasus yang sesungguhnya masih 10 kali dari yang ditemukan. Sedangkan kalau positivity rate 5 persen, artinya kasus di masyarakat bisa 5 kali lipatnya. “Semakin lama kasusnya ditemukan, penularan akan terus terjadi,” kata dia.
Dicky menambahkan, tingginya positivity rate atau kasus positif dari pemeriksaan yang ditemukan ini menunjukkan cakupan tes kita masih jauh dari ideal. “Saya sarankan untuk saat ini minimal 40.000 orang per hari,” tuturnya.
Aman palsu
Berbeda dengan pandangan para epidemiolog independen, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Wiku Adisasmito beranggapan, situasi semakin terkendali ditandai dengan berkurangnya zona berisiko tinggi penyebaran Covid-19. “JIka di akhir Mei zona merah (risiko tinggi) tersebar di 108 kabupaten/kota, pada 12 Juli 2020 zona merah hanya terdapat di 50 kabupaten/kota,” ujarnya.
Meski demikian, terdapat beberapa daerah yang menjadi perhatian karena tingginya kasus penularan, yaitu Jawa Timur dengan 16.685 kasus, DKI Jakarta 14.517 kasus, Sulawesi Selatan 6.973 kasus, Jawa Tengah 5.473 kasus, Jawa Barat 5.007 kasus, Kalimantan Selatan 4.146 kasus, Sumatera Utara 2.323 kasus, dan Papua 2.267 kasus. Sebanyak 74 persen total kasus di Indonesia terdapat di delapan provinsi ini.
Dicky mengatakan, penetapan zonasi tanpa penerapan pembatasan antar wilayah dengan ketat justru bisa memicu rasa aman palsu. “Daerah yang dinyatakan hijau hanya soal waktu akan menjadi merah, kecuali dilakukan pembatasan ketat di pintu masuknya,” katanya.
Dicky mengritik penetapan zonasi ini karena tidak menggunakan parameter positivity rate, selain juga mayoritas daerah belum memenuhi jumlah tes minimal. “Saya yakin, daerah yang dianggap hijau itu rata-rata jumlah tesnya sangat kecil. Jika mereka dinyatakan aman dengan tes sedikit dan tidak ada pembatasan di pintu masuknya serta mobilitasnya tinggi, itu justru memberi rasa aman palsu,” kata dia.
—–Jumlah pemeriksaan Covid-19 harian di Indonesia nomor dua terendah dari 26 negara dengan kasus terbanyak. Sumber: Our World in Data
Data dari worldometers.info, jumlah tes di Indonesia saat ini masih tergolong nomor dua terendah dari 26 negara yang memiliki jumlah kasus terbanyak. Tes di Indonesia baru mencapai 4.011 per satu juta penduduk, hanya lebih baik dari Mesir yang baru memeriksa 1.318 per satu juta penduduk.
Sebagai perbandingan, empat negara di urutan teratas jumlah kasus, yaitu Amerika Serikat telah memeriksa 130.654 per satu juta penduduk, Brazil memeriksa 21.508 per satu juta orang, India memeriksa 8.760 per satu juta, dan Rusia 160.999 per satu juta penduduk.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 15 Juli 2020