Kebiasaan masyarakat mengakses internet melalui gawai, menggeser struktur pendapatan perusahaan telekomunikasi seluler yang sebelumnya ditopang oleh layanan suara dan pesan pendek . Saat ini, para operator mengklaim data sudah mulai berkontribusi besar terhadap keseluruhan penghasilan.
Gambarannya bisa dilihat dari tiga perusahaan besar. Pendapatan data, internet, dan jasa teknologi informasi PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk mencapai Rp 42,45 triliun pada triwulan III-2017, tumbuh 30,5 persen selama setahun. Kontribusinya mencapai 43,8 persen terhadap total penerimaan perusahaan.
Pada triwulan III-2107, XL Axiata membukukan pendapatan layanan Rp 5,280 triliun. Sekitar 71 persen di antaranya berasal dari penerimaan data. Porsi sisanya disumbang olehlayanan suara dan layanan pesan pendek (SMS). Kontribusinya naik dibanding triwulan sebelumnya 67 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, para operator mengklaim data sudah mulai berkontribusi besar terhadap keseluruhan penghasilan
Adapun, pendapatan data Indosat Ooredoo tumbuh 38,7 persen atau menjadi Rp 10,5 triliun pada triwulan III-2017 sehingga kontribusinya terhadap total pendapatan layanan seluler mencapai 56 persen.
Namun, pencapaian tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan betapa sehatnya industri telekomunikasi tanah air.
Laporan riset Mandiri Sekuritas: Indosat’s “Yellow” an Early Warning Sign pada 4 Desember 2017 menyebutkan, yield data Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata menunjukkan tren penurunan setiap triwulan.
Survei Ericsson: Milenial Tak Tahan “Buffering” Video Lebih dari 4 Detik
Setidaknya, situasi ini direkam oleh Mandiri Sekuritas sejak triwulan I-2016 sampai triwulan III-2017. Yield data adalah total pendapatan data dibagi dengan total lalu lintas (traffic) data. Penurunan yield data bisa bahwa besarnya volume konsumsi traffic ternyata tidak berbanding lurus dengan pendapatan data yang diterima operator.
Salah satu faktor penyebab adalah perang tarif layanan paket yang terus berlangsung antaroperator telekomunikasi. Sebagai contoh, pada 1 Desember 2017, Indosat Ooredoo resmi meluncurkan program paket data bernama Yellow. Program ini menawarkan paket 1 Gigabyte (GB) seharga Rp 1.000 dengan masa aktif satu hari. Pilihan isi paket lainnya adalah data 1 GB seharga Rp 2.500 dengan masa aktif tiga hari dan 1 GB seharga Rp 7.000 dengan masa aktif tujuh hari.
Indosat Ooredoo gencar mengampanyekan program Yellow. Di beberapa spanduk, Yellow digambarkan dengan simbol permen lolipop. Program Yellow dihadirkan dengan sistem pembaharuan otomatis. Pelanggan bisa mendapatkan kuota data bulanan hingga 30GB seharga Rp30.000 yang secara efektif hanya membayar Rp 1 per megabyte. Paket tersedia untuk pelanggan prabayar lama dan baru. Paket tidak memiliki diferensiasi jaringan atau perbedaan waktu.
Pada saat bersamaan, Indosat Ooredoo juga meluncurkan paket Unlimited dengan kuota data tak terbatas untuk mengakses aplikasi-aplikasi utama, seperti WhatsApp, YouTube, dan Facebook. Akses YouTube tak terbatas, misalnya, tersedia di paket Unlimited seharga Rp70.000 per bulan.
Program Yellow berusaha mengejar pangsa pasar lebih besar. Namun, penawaran harga paket layanan data dirasa kurang rasional. Sebagai pembanding, Telkomsel mengenakan biaya Rp 10.000 untuk 1 GB dengan masa aktif satu hari.
Perang tarif di layanan data menjadi ajang perlombaan mengakuisisi pelanggan dan pangsa pasar lebih besar setiap triwulan. Dalam risetnya, Mandiri Sekuritas menyebutkan, pangsa pasar pendapatan data Telkomsel sebesar 61 persen, Indosat Ooredoo 21,6 persen, dan XL Axiata 17,4 persen pada triwulan I-2016. Periode yang sama tahun 2017 menunjukkan perubahan, yaitu pangsa pasar Telkomsel turun menjadi 56,8 persen, Indosat Ooredoo naik menjadi 23,4 persen, dan XL Axiata naik menjadi 19,8 persen. Pada triwulan III-2017, pangsa pasar Telkomsel turun lagi menjadi 55,7 persen, Indosat Ooredoo turun menjadi 22,8 persen, dan XL Axiata naik menjadi 21,5 persen.
Jika situasi ini terus dibiarkan, konsumen adalah pihak yang paling dirugikan. Mereka tidak memperoleh jaminan kualitas layanan data secara prima. Belum lagi, besaran tarif paket yang ditawarkan belum tentu mencerminkan kebenaran alias tidak transparan walaupun kondisi sekarang belum bisa disebut predatory pricing.
Industri telekomunikasi seluler tanah air pun juga semakin tidak sehat. Dalam jangka pendek, perang tarif di layanan data mungkin ampuh mengakuisisi pelanggan baru. Akan tetapi, yang patut diwaspadai adalah loyalitas pelanggan hasil akuisisi dengan cara itu. Seberapa loyalkah mereka akan bersedia menjadi pelanggan tetap? Disamping itu, penurunan pendapatan mengakibatkan perusahaan tidak akan mampu menggelontorkan dana untuk membangun atau menjaga kualitas infrastruktur jaringan.
Dalam jangka pendek, perang tarif di layanan data mungkin ampuh mengakuisisi pelanggan baru. Akan tetapi, yang patut diwaspadai adalah loyalitas pelanggan hasil akuisisi dengan cara itu
Sejak 1 November 2017, pemerintah telah menerapkan wajib registrasi prabayar jasa telekomunikasi yang tervalidasi dengan data kependudukan dan catatan sipil. Persyaratan registrasi menggunakan nomor kartu tanda penduduk (KTP) dan nomor kartu keluarga (KK). Bagi pelanggan lama, pemerintah mewajibkan registrasi ulang paling lambat 28 Februari 2018. Pemerintah mengklaim, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan pusat data pelanggan aktif.
Pemerintah menetapkan pula sanksi bagi pelanggan lama yang tidak patuh. Bentuknya adalah pemblokiran nomor prabayar. Pelaksanaan blokir bertahap, dimulai dari layanan panggilan dan pesan pendek keluar, lalu panggilan dan pesan pendek masuk, hingga terakhir data internet.
Kebijakan tersebut bisa dimaknai lebih luas sebagai momentum menyehatkan industri telekomunikasi seluler, khususnya di layanan data. Apalagi, perang tarif biasa terjadi pada saat penjualan kartu baru prabayar.
Pada kurun waktu tertentu, memang akan terjadi penurunan jumlah pelanggan. Namun, secara perlahan akan terbangun keseimbangan. Pelanggan loyal pun tercipta. Industri telekomunikasi menjadi lebih sehat.
Masih ada opsi lain mengatasi persoalan tersebut. Ada wacana kebijakan mengenai perlunya pemerintah mengatur promosi harga layanan data beserta batas waktunya. Pemerintah harus mempertimbangkan pula pilihan itu. Menjaga kesehatan industri dan kepentingan pelanggan tetap diutamakan apapun keputusan regulasinya.–MEDIANA
Sumber: Kompas, 21 Desember 2017
————–
Masih Ada Waktu untuk Registrasi sampai Februari 2018
Masyarakat diimbau untuk memaksimalkan sisa waktu registrasi ulang nomor kartu prabayar jasa telekomunikasi hingga akhir Februari 2018. Selain untuk melindungi pelanggan dari tindak kejahatan, registrasi ulang juga bisa mengefisienkan anggaran industri seluler.
Sampai saat ini, lebih dari 110 juta pelanggan telah melakukan registrasi nomor kartu prabayar.
Pemerintah mewajibkan registrasi nomor kartu prabayar bagi pengguna baru ataupun lama melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 21 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Ahmad M Ramli, registrasi kartu prabayar akan memberikan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi pada era ekonomi digital. Dengan menggunakan identitas yang telah teregistrasi, setiap transaksi dalam jaringan akan lebih aman dari penipuan yang saat ini marak terjadi menggunakan teknologi digital.
Ramli menyampaikan, peningkatan jumlah pelanggan yang melakukan registrasi nomor kartu prabayar ini dinilai cukup masif. Per 7 Desember 2017, sebanyak 90 juta pelanggan telah melakukan registrasi. Dalam waktu dua minggu, jumlah itu bertambah 20 juta pelanggan.
”Upaya ini tidak lepas dari peran Kementerian Dalam Negeri, kepolisian, mitra operator, serta lembaga lain untuk menyosialisasikan dan membantu proses registrasi nomor kartu prabayar,” ujar Ramli dalam acara Capaian Kinerja dan Peluncuran Inovasi Ditjen PPI Kominfo di Jakarta, Rabu (20/12).
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, melalui registrasi ulang nomor kartu prabayar, industri seluler bisa mengefisienkan anggaran hingga Rp 2,5 triliun.
”Setiap tahun, industri seluler bisa membeli lebih dari 500 juta kartu prabayar karena pelanggan sering membeli kartu sekali pakai. Akibatnya, terjadi ketidakefisienan dalam manajemen kartu,” ujarnya.
Setiap tahun, industri seluler bisa membeli lebih dari 500 juta kartu prabayar karena pelanggan sering membeli kartu sekali pakai.
Menurut Rudiantara, sampai saat ini masih ada laporan masyarakat terkait kegagalan dalam registrasi. Namun, kendala tersebut bersifat teknis, seperti kesalahan atau kesulitan dalam memasukkan angka nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK), bukan karena masalah dari peladen operator.
Februari 2018
Pelanggan jasa telekomunikasi prabayar masih memiliki waktu sampai akhir Februari 2018 untuk melakukan registrasi ulang. Namun, Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia Merza Fachys mengimbau masyarakat untuk melakukan registrasi secara bertahap selama jangka waktu tersebut untuk menghindari kesalahan sistem.
Merza menambahkan, jika tidak diregistrasi hingga batas waktu yang ditentukan, layanan seluler pelanggan itu akan diblokir secara bertahap. Pemblokiran dimulai dari layanan panggilan keluar dan pesan singkat, kemudian panggilan masuk, selanjutnya hanya disisakan fasilitas internet. Pada akhirnya, semua layanan dan nomor yang digunakan konsumen tersebut akan diblokir.
Sementara itu, sepanjang 2017, Ditjen PPI Kominfo menandatangani 12 nota kesepahaman dan 2 perjanjian kerja sama di bidang penyelenggaraan pos dan informatika. (DD15)
Sumber: Kompas, 21 Desember 2017