Pabrik pengolahan minyak goreng bekas atau jelantah berkapasitas 200 liter per hari dikembangkan di Pusat Biokilang (Biorefinery) Universitas Kobe, Jepang, bekerja sama dengan Bioenergy Corporation-perusahaan berbasis inovasi bioteknologi. Pabrik percontohan skala kecil itu sedang diuji coba penerapannya di Tsuna, kota kecil di Pulau Awaji, Prefektur Hyogo.
Dari pabrik itu dihasilkan 90 persen biodiesel dan 10 persen produk sampingan, gliserin. Tahun ini, pabrik skala kecil menggunakan enzim mikroba itu akan dirintis di Indonesia dengan modifikasi kondisi Tanah Air.
Proses pengolahan menggunakan enzim mikroba itu tergolong nirlimbah dan tak mencemari udara. “Hasil akhirnya bisa menggantikan diesel dan petrokimia dari bahan bakar fosil,” kata Chiaki Ogino, Associate Professor pada Departemen Ilmu dan Teknik Kimia Universitas Kobe, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Yuni Ikawati, dari Kobe, Kamis (17/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kunjungan ke lokasi pabrik di Tsuna Hyogo, Ayumi Yoshida, peneliti senior Bioenergy Corporation, menjelaskan, pengoperasian pabrik melibatkan penduduk lokal untuk mengumpulkan minyak jelantah limbah rumah tangga. “Selama ini, setelah dua kali pakai, minyak goreng dibuang. Padahal, ketika diolah masih punya nilai ekonomi,” ucapnya.
Biodiesel yang dihasilkan di Kobe diberikan gratis kepada petani untuk menggerakkan traktor dan pembangkit listrik tenaga diesel skala kecil. Adapun gliserin bisa jadi bahan baku kosmetik.
Dirintis di Indonesia
Terkait rencana pembangunan pabrik percontohan di Indonesia, Prof Dr Bambang Prasetya, unsur pimpinan Proyek Innovative Bio-Production in Indonesia LIPI (iBioL), menegaskan pentingnya pelibatan masyarakat untuk keberlanjutan pengumpulan limbah. “Dalam hal ini harus ada edukasi bahaya kesehatan jika menggunakan minyak jelantah berulang kali,” ujarnya. Perlu dirintis juga pembentukan unit usaha pengumpul jelantah di tingkat komunitas.
Pabrik biokilang berkapasitas 200 liter per hari itu, menurut Manaek Simamora dari Pusat Inovasi LIPI, akan dibangun di Science and Techno Park Cibinong dengan dana Rp 2 miliar.
Menurut Yopi Sunarya, Manajer Proyek iBioL, pengembangan pabrik percontohan biodiesel berbasis enzim itu bisa dikaitkan pengembangan Pusat Unggulan Iptek (PUI) Biorefineri Terpadu yang dapat dukungan dana dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Melalui program PUI, kegiatan Biorefineri Terpadu dapat kian besar seiring bertambahnya kerja sama antar-peneliti serta industri di dalam dan luar negeri. “Kita juga punya material dasar, yaitu beragam jenis biomassa dan potensi mikroba lokal yang melimpah,” kata Yopi.
Prof Dr Bambang Subiyanto, Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI, mengingatkan, jika pendekatannya proyek, maka tak akan berkelanjutan.
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul “Pabrik Pengolahan Jelantah Segera Dirintis”.