Peringatan terjadinya potensi tsunami harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, antara lain disesuaikan dengan karakteristik gempa pembangkit tsunami yang pernah terjadi di daerah sekitarnya. Saat ini parameternya hanya berdasarkan kejadian gempa dicocokkan dengan kriteria gempa pembangkit tsunami yang telah ditetapkan.
”Hal ini menyebabkan kekurangtepatan pada peringatan tsunami. Harus diingat, karakteristik kegempaan di Indonesia berbeda dengan daerah lain. Di Indonesia bisa menghasilkan tsunami lebih besar,” ujar Guru Besar Seismologi Institut Teknologi Bandung Nanang Puspito ketika menyampaikan pidato ilmiah berjudul ”Kontribusi Seismologi pada Riset dan Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami” di Bandung, Jumat (25/6).
Nanang mengatakan, penentuan peringatan tsunami di Indonesia masih sekadar berdasarkan analisis parameter gempa. Kriterianya adalah pusat gempa berada di laut, kedalaman pusat gempa kurang dari 70 kilometer, dan magnitudo lebih dari 7,0. Menggunakan sistem ini, dalam waktu kurang dari lima menit, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bisa menganalisis gempa itu berpotensi tsunami atau tidak. Akan tetapi, sistem ini masih menyimpan banyak kelemahan sehingga berpotensi terjadi kekeliruan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemilihan bahasa juga harus tepat. Saat ini banyak peringatan tsunami yang dibatalkan. Jika terlalu sering, dikhawatirkan membuat kepercayaan masyarakat berkurang, bahkan bisa tak percaya lagi pada peringatan tsunami. (CHE)
Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010 | 03:12 WIB