Jembatan Suramadu merupakan hasil dari sebuah proses yang terintegrasi. Tanpa sentuhan dingin sejumlah pihak, jembatan yang menjadi ikon Surabaya-Madura itu mungkin masih berupa wacana. Siapa saja mereka?
SATU-SATUNYA akses dari Surabaya ke Madura atau sebaliknya hanya menggunakan penyeberangan feri. Karena pengguna jasa itu makin banyak dan menimbulkan kepadatan di Ujung-Kamal, Mochamad Noer (M. Noer) kala menjabat wakil bupati Bangkalan periode 1950 menangkap perlunya dibangun jembatan. Ketika itu, Angkatan Laut hanya mengizinkan Ujung-Kamal beroperasi pukul 06.00-18.00.
Apalagi moda transportasi darat ketika itu dimonopoli Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA, sekarang PT Industri Kereta Api/Inka). Menurut M. Noer, sejarah panjang pendirian Suramadu dimulai ketika sejumlah tokoh Madura menyampaikan keluhan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah menjadi gubernur Jatim pada 1967, gagasan Noer ditangkap pakar konstruksi penggagas fondasi cakar ayam, Prof Dr Sedyatmo (alm). ”Keresahan keterbelakangan kondisi sosial dan ekonomi Madura kami sampaikan kepada Presiden Soeharto (alm) ketika itu,” ungkap Noer setelah menerima sejumlah tokoh Madura, Selasa (2/6).
Gagasan dan konsep pengembangan jembatan antarpulau tersebut, menurut pria berumur 91 tahun itu, secara gigih disampaikan kepada Soeharto pada 1986. Empat tahun setelah dikaji, keluar Keputusan Presiden Nomor 55/1990 tentang Proyek Pembangunan Jembatan Suramadu dengan ketua tim pengarah Menristek B.J. Habibie.
Noer turut dipercaya untuk mendekati masyarakat di pesisir selatan Bangkalan berkaitan dengan pembebasan lahan. ”Banyak warga yang semula berkeberatan. Sebab, akibat proyek itu, makam leluhur mereka harus dipindah,” jelasnya.
Berkat komunikasi persuasif mantan Dubes RI untuk Prancis tersebut, kalangan ulama Madura yang bergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Madura (Bassra) mendukung pembangunan Suramadu. Konstruksi megaproyek itu dijadwalkan digarap mulai 10 November 1996.
Namun, rencana tersebut ternyata tidak semulus yang diharapkan. Akibat krisis moneter yang menghantam pada 1997, proyek tersebut tertunda. Setelah tongkat estafet kepresidenan berpindah ke tangan Habibie, Noer tidak menyerah. Mantan gubernur kelahiran Sampang itu mendesak agar pemerintah pusat merancang kembali pembangunan Suramadu.
Upaya percepatan dilakukan semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kemudian, pada pertengahan pemerintahan Presiden Megawati, 20 Agustus 2003, Suramadu diresmikan. ”Setiap masa kepemimpinan negeri ini punya kontribusi besar terbangunnya Jembatan Suramadu,” tegas Noer.
Sosok lain yang patut mendapat apresiasi adalah Kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional V A.G. Ismail. Lewat tangan dinginnya, proyek Suramadu akhirnya tuntas juga. Peran Ismail begitu besar. Lihat saja, dua kali pemerintah menunjuk dia untuk menangani proyek Suramadu dengan status yang berbeda.
Tugas pertamanya adalah saat awal 2003, tepatnya saat proyek jembatan itu mulai berjalan. Dia ditunjuk menjadi Pimpro Suramadu. Di posisi tersebut, tugas Ismail cukup berat. Dia ditugaskan untuk mengoordinasi dan mengintegrasikan pelaksanaan konstruksi agar tersistem. Setelah sistem terbentuk, akhirnya dia ditarik dari Suramadu. Sebagai gantinya, dia ditunjuk menjadi kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional I Medan pada 2005.
Namun, tangan dingin Ismail kembali dibutuhkan proyek Suramadu. Saat proyek sudah memasuki tahap pertengahan akhir, dia pun kembali ditarik pada pertengahan 2008. Tapi, kapasitasnya adalah kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional V yang menaungi Jateng, DI Jogjakarta, dan Jatim.
Sosok Ismail memang begitu akrab dengan pembangunan jalan dan jembatan. Beberapa jembatan prestisius di Indonesia tidak lepas dari tangan dinginnya. Di antaranya, Jembatan Mahakam I (Kaltim) dan Jembatan Membrano (Papua). Dianggap prestisius karena dua jembatan tersebut memiliki tingkat kesulitan tinggi.
Beragam pengalaman menarik mengiringi perjalanan Ismail selama menangani proyek tersebut. Salah satu yang paling berkesan adalah pada awal-awal proyek berlangsung. ”Saat itu, kami harus intens berdiskusi dengan warga di pesisir Madura. Sebab, mereka menganggap, jika jembatan jadi, mereka akan tersisih. Syukur mereka akhirnya mau. Bahkan, kami sampai bersama-sama ikut membersihkan ranjau di sana.”
Sosok lain yang tidak bisa dilupakan adalah Atyanto Busono. Dia adalah kepala Satuan Kerja Sementara Bentang Tengah Proyek Suramadu. Dia merupakan salah seorang kepala satker terlama dalam proyek Suramadu. (iro)
Sumber: Jawa Pos, 9 Juni 2009