Ombudsman Republik Indonesia menyiapkan saran kepada Presiden Joko Widodo untuk menunda revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Frekuensi dan Orbit Satelit. Revisi tersebut berpotensi mala-administrasi dan merugikan publik.
“Data potensi mala-administrasi revisi kedua peraturan pemerintah tersebut segera dibawa ke rapat pleno minggu depan, setelah itu saran (penundaan) akan diberikan kepada Presiden,” ujar anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, dalam diskusi media, Selasa (11/10), di Jakarta.
Menurut Alamsyah, pembahasan revisi PP No 52/2000 dan PP No 53/2000 yang sedang berlangsung kurang transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik. Sistem berbagi jaringan antaroperator tanpa batasan berpotensi menimbulkan pelayanan publik yang diskriminatif. “Praktik berbagi jaringan akan membuat operator lebih berkonsentrasi melayani masyarakat di wilayah yang padat dan mengabaikan pembangunan jaringan di daerah terpencil,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alamsyah mengakui, sistem berbagi jaringan akan menguntungkan masyarakat karena biaya telekomunikasi menjadi lebih murah. Namun, biaya murah itu dikhawatirkan justru menimbulkan perang harga antaroperator. “Persaingan tidak sehat dapat membuat operator rugi sehingga berdampak pada penerimaan negara,” kata Alamsyah.
Penumpang gelap
Ia melanjutkan, pemerintah seyogianya mencontoh penerapan sistem berbagi jaringan di sejumlah negara, antara lain di Brasil, Spanyol, Swedia, dan Polandia. “Negara-negara tersebut hanya menerapkan sistem berbagi jaringan di daerah yang penduduknya jarang saja sehingga tujuan pemerataan dapat tercapai,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, penerapan sistem berbagi jaringan perlu mempertimbangkan perbedaan kontribusi investasi setiap operator. “Jika sistem berbagi jaringan diterapkan, tidak ada pilihan bagi operator untuk menjalankan skema bisnis ke bisnis (B2B). Ini bisa merugikan operator yang sudah membangun infrastruktur karena munculnya penumpang gelap,” paparnya.
Seperti diberitakan, pembangunan konektivitas jaringan pita lebar menjadi salah satu agenda utama program teknologi informasi komunikasi yang tercantum di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 (Kompas, 27/9/2016).
Nilai investasi pita lebar minimal 27,8 miliar dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diterbitkan Bank Indonesia, nilai investasi tersebut setara dengan Rp 361,2 triliun. (C08)
——————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 18 dengan judul “Ombudsman Sarankan Penundaan Revisi”.