Arsitek senior Han Awal, yang dikenal sebagai guru dan penjaga etik dunia arsitektur Indonesia, meninggal pada Sabtu (14/5). Han mengembuskan napas terakhir di rumah dalam usia 86 tahun karena gangguan jantung.
Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Jalan Kemang IV Nomor 89, Jakarta Selatan. Jenazahnya akan dikremasikan pada Rabu besok di Oasis Lestari, Tangerang, Banten.
Kepergian arsitek yang bernama lengkap Han Hoo Tjwan itu merupakan kehilangan besar bagi bangsa ini. Semasa hidupnya, Han terlibat dalam pembangunan gedung Conefo (1964-1972) yang kini disebut sebagai gedung DPR-MPR Senayan. Ia juga memugar sejumlah bangunan monumental, seperti gedung Museum Arsip Nasional, Gereja Katedral Jakarta, gedung Bank Indonesia kawasan kota tua Jakarta, Gedung Universitas Katolik Atma Jaya Semanggi, dan Sekolah Pangudi Luhur Kebayoran Baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Semasa hidupnya, pria yang pernah belajar di Belanda dan Jerman ini menjabat sebagai anggota Dewan Kode Etik Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Ketua Umum IAI Ahmad Djuhara mengenang Han sebagai sosok yang arif dan teguh menjaga prinsip etika profesi.
”Tidak memandang masalah secara hitam-putih sehingga selalu ada jalan yang bijak setiap kali kami memintai pandangan,” ujar Djuhara.
Hal senada dikemukakan Ketua Sidang Pemugaran DKI Jakarta Bambang Eryudhawan. ”Beliau selalu melihat sisi baik dari setiap masalah sebelum menganalisa dan menentukan sikap akhir,” katanya. (CH/NAB)
Sumber: Kompas, 17 Mei 2017
—————————
Han Awal, Guru Kami
Mengingat Han Awal adalah mengingat dosen pertama, pada masa-masa awal kuliah, yang masuk ke ruang studio dan berkata dengan suara lirih, “maaf, kami terlambat.”
Universitas Indonesia pada 1987 adalah sebuah tempat antah-berantah. Jauh di luar Jakarta, yang harus ditempuh dengan menembus kemacetan Pasar Minggu dan kesemrawutan angkutan kota di LA-istilah keren untuk Lenteng Agung. Dan tiba terlambat, bagi seorang dosen, bukanlah dosa besar.
Saya tidak tahu bapak yang rambutnya hampir semua putih itu datang dari mana, tapi beliau meminta maaf dengan tulus. Satu hal yang paling berkesan adalah gerak tubuhnya dan kata yang dipilihnya. Dia Berdiri di depan, menyentuhkan tangan ke dada dan mengucapkan “kami” untuk menggantikan ”saya”.
Selanjutnya, Han Awal memang tidak pernah menggunakan ”saya” di depan kelas untuk membahasakan diri. Beliau lebih memilih “kami”-sebuah kesopanan lama yang menganggap “aku” dan ”saya” adalah sebuah penonjolan diri. Karena itu pulalah, dengan bercanda, teman-teman seangkatan saya menyebut putra beliau, Yori Antar Awal, yang kebetulan adalah senior, dengan ”anak kami”.
Mengingat Han Awal adalah menggali memori tentang hal-hal penting yang saya pelajari pada tahun-tahun awal kebutaan saya terhadap arsitektur. Bahwa unsur-unsur pokok pembentuk ruang adalah titik, garis, dan bidang. Titik adalah penentu posisi di dalam ruang, dan garis adalah titik yang diperpanjang. Bahwa bidang adalah medium 2D dan bisa dikembangkan menjadi 3D ke segala sumbu.
Bahwa hunian adalah teritori awal manusia. Karena itu, dalam perencanaan dan perancangannya, arsitek harus memperhatikan prinsip kekokohan dan kenyamanan. Arsitektur, selain sebagai naungan, adalah representasi ekspresi yang terus-menerus dari peradaban manusia, sehingga perkembangannya dari zaman ke zaman adalah repositori sejarah peradaban yang luar biasa.
Han Awal menjabarkan sejarah arsitektur dengan sangat menarik, melalui bahasa utama yang digunakannya: gambar. Menggunakan slide projector sederhana yang setiap kali berganti gambar berbunyi krrrk…creek… krrrk… creek…., kami disihir dengan foto bangunan dari tempat-tempat yang jauh. Dari Katedral Notre-Dame, Notre Dame du Haut, Pantheon, hingga bangunan dari mazhab Bauhaus dan era Modern, seperti Seagram Building dan Villa Savoy.
Han Awal tidak cuma meluaskan spektrum pengetahuan dasar arsitektur kami.Ia juga mengajak kita menggali lebih dalam tentang khazanah arsitektur Nusantara. Di ruang kelas setengah gelap itu, ia menunjukkan gambar-gambar berbagai bentuk atap, dan meyakinkan bahwa di iklim tropis ini atap adalah yang utama. Dinding datang kemudian sebagai upaya untuk menahan tampias, serangga, dan terutama: mendapatkan privasi. Masih dengan slide yang sederhana, ia menunjukkan transformasi para arsitek Belanda dalam upaya mereka mengawinkan ilmu membangun Eropa dengan kondisi tropis yang panas dan lembap, sampai pada akhirnya muncul gaya bangunan seperti Aula Barat dan Timur Institut Teknologi Bandung, Gedung Sate, Pasar Johar, Pasar Gede, juga bangunan-bangunan Art Deco pada zaman itu.
Satu hal yang sangat diyakini beliau adalah “breezing Wall”. Han Awal percaya, ini adalah jawaban paling jitu untuk daerah tropis. Dan itu sudah ada di bangunan-bangunan tradisional di Indonesia.
Tapi kuliah-kuliah Han Awal tidak melulu diisi dengan hal-hal “berat” seperti di atas. Ia menyelipkan materiomateri lucu dan menarik yang, meskipun kurang relevan dengan bahasan, menyenangkan untuk diikuti. Misalnya ketika ia membahas asal mula beberapa kata dalam bahasa Indonesia, yang menurut beliau diambil dari bahasa lain. Seperti gudang dari go down. Brengsek dari brain sick.
Atau kuliah tentang ilusi penglihatan, yang seperti tes psikologi. Garis mana yang lebih panjang dan mana yang lebih pendek dalam satu bidang yang tidak rektangular. Juga gambar pusaran yang beliau minta kita telusuri dengan jari, tapi ternyata jari kita tetap berputar dalam lingkaran, dan tidak menuju ke pusat. Puncaknya adalah Maurits Cornelis Escher, yang memang sering disebut sebagai ilusionis 2D. Pak Han sangat mengidolakan orang satu ini.
Di dalam kelas, Han Awal adalah dosen yang telaten mengajari kita hal-hal yang mendasar. Seperti cara memegang pensil, cara menarik garis, cara membuat arsiran beton dan rumput. Meskipun tak semua mahasiswa berbakat, dia selalu bilang luar biasa” atau “simpatik”. Tentunya ini membesarkan semangat kami yang sering kali kecewa terhadap hasil kerja sendiri. Jika hari ini kami menjadi arsitek yang bisa mendesain bukan cuma rumah, tapi berbagai tipologi bangunan, tentu kami berutang banyak kepada beliau.
Mengingat Han Awal hari ini adalah mengingat satu figur yang ” jauh di sana”: seorang dosen yang mencelikkan mata saya sebagai mahasiswa baru terhadap dasar-dasar perencanaan dan perancangan arsitektur, dan teladan yang dengan lakunya memberi suluh pada profesi arsitektur di Indonesia bagaimana bergulat dengan segala kesulitan, godaan, dan tanggungjawabnya, dengan tetap berpegang pada etika.
Tiga puluh tahun telah lewat. Hampir tidak ada kesempatan yang membuat saya bisa atau harus berinteraksi intens dengan Pak Han Awal. Tapi pada tiap kali pertemuan dan persinggungan, entah itu dalam diskusi atau seminar entah sekadar berpapasan, saya selalu tersentuh pada kerendahan hati beliau dan integritasnya pada apa pun yang dilakukannya.
Belakangan, di usianya yang sudah lanjut, Pak Han adalah figur yang sangat aktif dalam melakukan dan mengkonsultasikan kegiatan konservasi bangunan-bangunan tua di Indonesia. Dan dia melakukannya seperti tanpa lelah. Meski saya cukup akrab dengan putranya-saya suka iseng bilang, “Yor, bokap lo keren banget! Lo kapan?”-rasa hormat saya pada Han Awal selalu berhasil menahan langkah saya untuk berhenti dan cukup mengagumi sosok itu dari jauh.
Pada 14 Mei 2016, Han Awal berpulang. Tapi saya yakin beliau tak pernah pergi. Di benak para mahasiswa yang pernah bersinggungan dengannya, ada kenangan, pelajaran, dan kesan yang mendalam pada beliau. Dia tinggal pada kita dengan cara yang partikular. Saya pikir teman-teman seangkatan saya akan setuju jika kami menjuluki beliau ”mantan (dosen) terindah”. Buat kami, Han Awal akan tetap jadi Guru Kami.
Avianti Armand, penulis dan Arsitek
———-
Terima kasih untuk Eko R.H. Martodjo, Laksmi Prawitasari, Donna Mivida, Lusi Yuliawati, Achmad Sudradjat, Shinta Zeisaputri, Rapindo Hutagalung, dan Pudjo Sambodo, yang membantu menyegarkan ingatan saya tentang guru kita, Han Awal.
Sumber: Majalah Tempo, 29 Mei 2016