Sebelas hari lalu, tepatnya Jumat (10/3), suatu pesan pendek masuk ke nomor saya. ”Sik ya, aku masih wira-wiri (Sebentar, ya, saya masih mondar-mandir) ke RS. Ada infeksi di kaki kiri, kaki yang waras. Susah untuk menapak.”
Ternyata, itu komunikasi terakhir Antonius Waluyono Subarkah dengan saya. Beberapa waktu terakhir, Awe—demikian kami memanggil inisial dia saat menulis berita—memang kembali aktif menulis di Catatan Iptek. Rubrik tetap setiap Rabu di halaman 14 Kompas itu biasa diisi dengan berbagai persoalan kesehatan, lingkungan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tulisan terakhirnya, ”Salah Menalar Diabetes” (Rabu, 22/2), mengkritisi berbagai informasi diabetes di internet yang sering kali malah menyesatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Awe memang sudah lama terkena diabetes melitus atau penyakit gula. Kaki kanannya sudah diganti protese, tetapi semua itu tidak mengurangi kesetiaan terhadap pekerjaannya. Ia rajin ke kantor dan berdiskusi dengan beberapa teman.
Terakhir, Awe berjanji menulis tentang energi sel surya yang menjadi keahliannya. Kebetulan, kebijakan pemerintah sedang mengarah pada energi baru dan terbarukan itu, seiring latar belakang keilmuannya sebagai insinyur elektro alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Awe juga dikenal sebagai jurnalis telekomunikasi yang andal.
Namun, kaki kirinya ternyata luka dan harus dirawat di rumah sakit. Ia sempat menulis status di akunFacebook miliknya dengan foto kaki dibalut perban. ”Kaki kiri ternyata iri sama kaki kanan,” katanya.
Selera humornya memang tidak hilang meski ia didera banyak masalah kesehatan. Namun, dua hari di rumah sakit, ia minta pulang hingga akhirnya meninggal 10 hari kemudian.
Selasa (21/3) pagi, Awe akhirnya mau pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya yang semakin menurun. Menurut dokter yang merawatnya, kadar gulanya yang tinggi mungkin telah merusak fungsi ginjalnya.
Pagi-pagi, putri sulungnya, Anastasia Tya Astuti (21), yang sering menemani ke kantor, mendapati papanya telah dipanggil Tuhan pukul 07.00. Selama Awe sakit, Tya ”cuti” kuliah di Jurusan Arsitektur Trisakti untuk merawat papanya. Ponselnya penuh pengingat kapan harus mengganti perban, minum obat, dan seterusnya.
Awe memulai karier jurnalistiknya di tabloid Bola dan sebagai koresponden lepas harian Kompas (1985-1987). Sejak 1988, dia bergabung permanen dengan harian Kompas, dengan karier berawal di desk olahraga. Dia juga berkiprah di desk Politik, Hukum, dan HAM; Nusantara; Multimedia (kepala desk, 2007); serta Humaniora.
Tahun 2001-2004, dia memimpin Biro Jawa Timur, membidani terbitan khusus lembar Jawa Timur (2003). Pada akhir hayatnya, Awe menjadi wartawan senior di Desk Humaniora. Di antara rekan-rekannya di Kompas, dia dikenal sebagai pribadi yang tegas dan keras kemauan.
Awe lahir di Klaten, 26 September 1959. Dia menjalani pendidikan di SD Kanisius dan SMP Pangudi Luhur di Klaten serta SMA De Britto, Yogyakarta. Anak kelima dari enam bersaudara ini meninggalkan istri, Pungky Chitoresmi, serta dua anak, Tya dan Krishna Anantia (6).
Selamat jalan kawan. Karyamu abadi. (ISW/NES)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 1 dengan judul “AW Subarkah, Setia sampai Akhir”.