Normal baru bisa diterapkan di Indonesia jika kasus Covid-19 menurun dan masyarakat disiplin memenuhi protokol kesehatan. Tanpa semua itu, tata hidup baru justru berisiko bakal membahayakan keselamatan warga.
Wacana normal baru yang terus didengungkan tidak boleh mengabaikan risiko penularan Covid-19. Hingga saat ini ancaman virus korona baru di Indonesia masih tinggi ditandai dengan terus bertambahnya jumlah kasus dan korban meninggal. Belum saatnya pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, yang lumayan menahan laju penyebaran virus korona baru, dilonggarkan.
Laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat adanya penambahan kasus positif pada Senin (1/6/2020) sebanyak 467 orang sehingga total menjadi 26.940 orang yang terkonfirmasi. Sementara kasus meninggal bertambah 28 orang sehingga total menjadi 1.641 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, data itu diambil dari hasil uji pemeriksaan spesimen sebanyak 333.415 menggunakan metode reaksi rantai polimerase (PCR) di 95 laboratorium, tes cepat melokuler (TCM) di 59 laboratorium dan laboratorium jejaring di 179 laboratorium. Secara keseluruhan, ada 232.113 orang. Ini berarti sekitar 11,6 persen orang yang diperiksa positif.
Ahli epidemiologi Universitas Padjajaran, Panji Hadisoemarto, mengingatkan, penambahan kasus harian yang terus terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa transmisi virus korona masih terjadi di komunitas. ”Apalagi menjelang Lebaran telah terjadi pelonggaran di banyak daerah, yang ini dampaknya baru akan terlihat beberapa hari ke depan. Jadi, belum saatnya sebenarnya kita melonggarkan pembatasan,” katanya.
Panji mengkhwatirkan wacana normal baru yang terus digaungkan pemerintah dipersepsikan keliru oleh masyarakat bahwa situasi sudah aman untuk beraktivitas seperti biasa. Padahal, dalam kondisi normal baru, harus ada protokol keamanan yang ketat agar tidak terjadi lagi ledakan wabah, di antaranya masyarakat harus tetap jaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.
Menurut Panji, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebenarnya sudah berkontribusi menekan penyebaran kasus, terutama di daerah Jakarta dan Jawa Barat, yang menjadi episenter awal. ”Saat ini, beban rumah sakit di Bandung mulai berkurang. Ini bisa jadi indikasi yang baik, tetapi kalau kita lihat Jawa Timur sebaliknya, kasusnya meningkat tinggi dan ini bisa terjadi di daerah-daerah lain,” katanya.
Panji juga mengingatkan, dari segi epidemiologi, sebenarnya Indonesia belum layak menuju normal baru. Apalagi, data mengenai kasus di Indonesia juga bermasalah. ”Saat ini, pemerintah menyatakan sejumlah daerah sudah hijau kondisinya karena dianggap kasusnya sudah minim atau tidak ada kasus. Namun, ini sebenarnya belum jadi ukuran karena tidak dilengkapi data berapa banyak jumlah pemeriksaan di daerah itu. Kalau tes minim, angka kasusnya juga minim,” katanya.
Oleh karena itu, Panji menyarankan, sebelum mendorong ke wacana normal baru ini, pemerintah harus memastikan telah melaksanakan pemeriksaan massal secara merata. ”Selain meningkatkan tes PCR, juga harus memperkuat surveilans dan menelusuri kontak. Kasus baru harus sudah bisa diidentifikasi kontaknya maksimal 72 jam. Ini yang sejauh ini belum kelihatan dilakukan,” katanya.
Meningkatkan risiko
Sosiolog bencana dari National Technological University Singapura, Sulfikar Amir, mengatakan, normal baru jangan hanya menjadi justifikasi untuk membuka kegiatan ekonomi dengan mengabaikan risiko masyarakat. ”Selain syarat epidemiologi, juga penting dipenuhi adalah syarat sosial, di antaranya masyarakat siap untuk tetap menjaga diri maupun orang lain agar tidak tertular,” katanya.
—Jumlah ODP dan PDP yang meninggal dibandingkan dengan yang positif Covid-19 meninggal. Sumber: Laporcovid19.org
Menurut Sulfikar, jika normal baru dipaksakan, sebelum syarat dipenuhi, akan terjadi gelombang wabah lebih besar. Padahal, di masyarakat terdapat kelompok yang lebih rentan, baik secara medis mauapun sosial ekonomi. ”Jika wabah ini meledak dan menular luas di permukiman padat dan miskin kota, akan menjadi masalah besar. Ini misalnya terjadi di Italia dan juga Brasil, di mana sistem kesehatan akhirnya membuat prioritas mana yang harus dirawat dan tidak,” katanya.
Irma Hidayana dari Laporcovid19.org mengatakan, data-data yang dilaporkan pemerintah saat ini masih belum menggambarkan kondisi riil karena belum mengungkap mengenai banyaknya orang yang meninggal sebelum diperiksa. Ini menyebabkan masyarakat cenderung meremehkan risiko Covid-19.
Padahal, menurut Irma, dari data yang dikumpulkan sukarelawan Laporcovid19.org, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal rata-rata masih 3,5 lipat dibandingkan dengan korban positif yang meninggal. ”Misalnya, pada 30 Mei lalu, kematian positif Covid-19 sebesar 1.503, sedangkan kematian ODP dan PDP sebanyak 5.021 sehingga total kematian terkait Covid-19 di Indonesia seharusnya sudah mencapai 6.323,” katanya.
Irma mengatakan, data yang akurat dan transparan merupakan kunci untuk memahami kondisi yang riil, dan seharusnya menjadi dasar bagi kebijakan yang berdampak bagi keselamatan warga. Panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang pencatatan kematian Covid-19 menyebutkan bahwa mereka yang meninggal dengan gejala diduga Covid-19 harus dicatat sebagai kematian Covid-19. Artinya ODP dan terutama PDP yang meninggal mesti dicatat sebagai kematian Covid-19.
Oleh AHMAD ARIF
Editor ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 1 Juni 2020