Pendapat saya: kelas kata dalam normal Indonesia diperkaya saja: adjektiva ya, nomina ya. Maka, satu-satunya kandidat bagi padanan new normal dalam bahasa Indonesia tidak bisa lain selain ”normal baru”.
Bukti bahwa bangsa Indonesia tidak menyumbang apa-apa ke dalam ilmu pengetahuan, klasik ataupun modern, menemukan aktualitasnya dalam pandemi piviko-19 ini [piviko ’penyakit infeksi virus korona’]. Kita megap diserbu istilah kuminggris dari segala penjuru: istilah-istilah epidemiologi maupun istilah-istilah sosiologi dst. Kita belum sanggup menamai yang baru di bawah langit asali dalam bahasa Indonesia sebab kita tak punya kontribusi apa pun setakat ini dalam ilmu pengetahuan.
Saya selalu cemburu kepada fisikawan Nobel yg berbasis di Caltech yang berwibawa itu, Murray Gell-Mann, yang berbakat lebat dalam linguistik dengan seenaknya menamai subpartikel temuannya sebagai quark. Dia ciptakan kata baru dalam vokabulari fisika semesta. Kita? Kata Pramoedya Ananta Toer sekali peristiwa: kita bangsa konsumen!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kembali ke laptop. Dengan pemahaman bahasa Inggris yang jauh dari merata (Jepang dan Korea Selatan dalam konteks ”berbahasa Inggris aktif” setali tiga uang dengan kita), tak patutlah media berpangku tangan membiarkan physical distancing, lockdown, covid-nineteen, dsb mengalir deras dengan resistensi nol ohm. Indonesiakan sajalah itu. Apa repotnya?
Hari-hari ini new normal dibahas dari segala penjuru juga. Saya tak berminat membahas segala hal tentang pengejawantahan ungkapan baru itu, apalagi merecokinya dengan hoax atau berita palsu. Segi bahasanya sajalah; semoga membantu.
Semula saya tenang-tenang saja menyambut new normal dengan normal baru sebatas dalam pikiran, tapi terganggu dengan Kompas TV yang memunculkan kenormalan baru dalam sebuah siarannya. Ada yang bilang istilah itu dari Badan Bahasa.
Hmm, mungkin patokan mereka Kamus Besar Bahasa Indonesia belaka: di sana, sampai pada edisi kelima sekaligus mutakhir, kelas kata normal terbatas sebagai adjektiva saja.
Oxford lain, normal bisa adjektiva bisa nomina. Yang nomina ditakrifkan sebagai ’the usual or average state, level or standard’. Webster daring juga mencantumkan normal sebagai adjektiva juga nomina; hanya saja tak seperti biasa, ia tak mencatat kapan normal mulai dikenal sebagai nomina. Nah, bila begitu, new normal mengikuti kaidah bahasa, dong.
Pindah kelas kata atau kata berkelas majemuk kaprah saja dalam banyak bahasa, bahkan bahasa Indonesia. Guru fisika, dosen biblika, kucing garong itu jelas sekali memperlihatkan betapa nomina (fisika, biblika, dan garong) bisa ditenung menjadi adjektiva tanpa berubah bentuk, misalnya dengan memberi imbuhan.
Di ranah sastra tentu kita tidak boleh melupakan preseden yang diprakarsai penyair Sutardji Calzoum Bachri: ia mengubah nomina menjadi adjektiva lewat baris-baris puisinya, ”Solitude” yang tersua dalam Kumpulan Puisi O, Sajak-sajak 1966-1973:
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
…
samping yang paling
Kau!
Bagaimana dengan usaha sekelompok orang yang hendak memadankan new normal dengan kelaziman baru, kelumrahan baru, norma baru, dan seterusnya untuk memperpanjang sinonim dalam daftar tesaurus? Mari singgah sejenak pada hakikat new normal yang dikaitkan dengan pandemi piviko-19 yang dimulai pada akhir 2019 itu.
Kita perlu membongkar kenangan lama kita pada pelajaran tentang koordinat kartesian dua dimensi dalam matematika dasar untuk menjelaskan hubungan antara jumlah yang terkena piviko-19 dari masa ke masa. Kita berangkat dari titik O (0, 0), yakni suatu keadaan ”pada mulanya ketika jumlah yang terkena piviko-19 diketahui masih nol”. Adapun keadaan di masa sebelumnya disebut sebagai ”normal” ketika belum ada bukti bahwa virus ”itu” mengontaminasi bagian tubuh anak manusia. Kurva ”normal” itu berupa garis lurus di sepanjang absis berordinat nol.
Setelah melalui O (0, 0), berdasarkan rekaman kasus piviko-19 di berbagai negara, kurva naik secara eksponensial dan diharapkan, ketika melalui masa puncak, kurva akan menurun secara eksponensial pula hingga secara kuasistatis mendatar sejajar dengan garis absis; itulah yang disebut keadaan new normal.
Keadaan new normal itu akan menjadi landasan bagi otoritas di sebuah negara untuk memulai kelaziman baru, kelumrahan baru, atau norma baru dalam berbagai bidang kehidupan sejalan dengan protokol kesehatan. Maka new normal bukan kelaziman baru itu sendiri, melainkan sebuah syarat cukup dan perlu bagi kelaziman baru tsb.
Indonesianya? Pendapat saya: ketimbang menciptakan kenormalan yang belum berpreseden, mending kelas kata dalam normal Indonesia diperkaya saja: adjektiva ya, nomina ya. Maka, satu-satunya kandidat bagi padanan new normal dalam bahasa Indonesia tidak bisa lain selain normal baru. Bila demikian halnya, mari dengan lega kita masuk ke ”normal baru”.
(Oleh Salomo Simanungkalit, Wartawan Kompas)
Sumber: Kompas, 31 Mei 2020