Pekan pengumuman Hadiah Nobel 2018 sedang berlangsung. Setelah sekian lama anugerah sains paling prestisius itu dikritik karena sedikitnya perempuan yang menerimanya, khususnya di bidang sains dasar, tahun ini ada dua perempuan yang berhasil mendapatkan Nobel.
Kedua perempuan itu adalah Donna Strickland (59) dari Universitas Waterloo, Kanada, yang mendapat Nobel Fisika dan Frances H Arnold (62) dari Institut Teknologi California, Pasadena, Amerika Serikat, untuk Nobel Kimia.
Situasi ini jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Dari tiga kategori sains diumumkan, termasuk fisiologi/kedokteran, tak satu pun perempuan menerimanya. Meski tahun ini ada perbaikan, itu menunjukkan kesenjangan sains dan perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepanjang sejarah penganugerahan Nobel sejak 1901, hingga hari ketiga pengumuman Nobel 2018, Rabu (3/10/2018), baru 50 perempuan pernah menerimanya atau 5 persen dari total penerima. Itu pun 59 persennya ialah penerima Nobel Sastra dan Perdamaian.
NOBEL FOUNDATION–Medali Hadiah Nobel
Di bidang sains, baru 20 perempuan pernah menerimanya, yaitu 3 orang untuk fisika, 5 orang kimia, dan 12 orang fisiologi/kedokteran. Satu perempuan menerimanya dua kali, yaitu Marie Curie bagi Nobel Fisika 1903 dan Nobel Kimia 1911.
Selain soal jender, isu yang beredar di komunitas sains terkait Nobel ialah warna kulit. Itu diidentikkan pria tua berkulit putih jadi pemenang.
Namun, ketimpangan itu tidak hanya terjadi pada Nobel. Hadiah Fields Medal, anugerah paling prestisius bidang matematika yang diberikan empat tahun sekali sejak 1936, baru satu kali diberikan kepada perempuan, yakni Maryam Mirzakhani (1977-2017), pada 2014. Namun, hadiah itu dikhususkan bagi ahli matematika cemerlang berusia kurang dari 40 tahun.
Di bidang teknologi dan rekayasa, kondisinya tak jauh beda. Meski jumlah perempuan yang menekuni sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (kian banyak, porsi perempuan di bidang itu jauh dari porsi perempuan yang mencapai separuh dari populasi Bumi.
Terus bertambah
Ketua Komite Nobel Fisika 2018 Olga Botner seusai pengumuman pemenang Nobel Fisika, Selasa (2/10), mengatakan jumlah perempuan peneliti terus bertambah. Nobel umumnya diberikan kepada peneliti yang lama menekuni bidangnya, 2-3 dekade sebelumnya, dan risetnya memberi andil besar bagi kemanusiaan. Saat itu, perempuan peneliti sedikit.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yenny Meliana, berpendapat, keberhasilan sejumlah perempuan ilmuwan meraih Nobel bisa jadi contoh dan motivasi bahwa perempuan pun bisa. Tuntutan budaya sebagai ibu rumah tangga tak mesti menghalangi perempuan berkarya. ”Urusan keluarga seharusnya tak lagi dijadikan alasan bagi perempuan untuk berprestasi,” katanya.
Upaya mendorong perempuan di bidang sains tak mudah, termasuk di negara-negara dengan indeks kesetaraan jender yang baik. Di dunia, hanya 28,8 persen peneliti adalah perempuan. Di Indonesia, 30,6 persen penelitinya ialah perempuan, lebih tinggi dari sejumlah negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Belanda, dan Jerman (UNESCO, 2018).
Dengan potensi itu, Yenny menilai perempuan peneliti Indonesia berpeluang besar untuk maju. Namun, mereka perlu diarahkan agar fokus menekuni satu bidang dan kian mendalam seperti peneliti negara maju.
Di sisi lain, pemerintah perlu memperbaiki fasilitas dan sarana riset serta mendorong pendanaan riset. Meski saat ini pemerintah fokus pada penelitian yang aplikatif, riset sains dasar tak seharusnya ditinggalkan. Riset sains dasar tak memberi hasil jangka pendek, tetapi model riset ini terbukti menjaga pertumbuhan ekonomi negara-negara maju.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 4 Oktober 2018