LETUSAN Kelud telah mereda. Masyarakat kembali pulang. Namun, letusan Kelud adalah kepastian alam. Hanya soal waktu ia kembali meletus. Karena itu, masyarakat harus belajar dari letusan kali ini guna menyiapkan strategi menghadapinya pada masa mendatang.
Letusan Kelud kali ini menewaskan tujuh orang. Terbilang kecil untuk skala letusan sebesar ini. Kerja keras, termasuk warga yang bergerak cepat menjelang letusan, patut diapresiasi.
Namun, menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono, dalam letusan kali ini, di samping karena masyarakat kooperatif dan cepat mengungsi, juga diuntungkan karakter letusan Kelud. ”Jika danau kawah Kelud ada, korban mungkin akan banyak,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kurang dua jam sejak dinyatakan Awas, Kelud meletus. Itu tak ideal mengingat proses evakuasi ribuan orang membutuhkan waktu. ”Idealnya, dari status Awas hingga letusan harus ada jeda dua hari,” kata Surono.
Kapan menentukan harus mengevakuasi warga bukan hal yang mudah. ”Sebenarnya, kita juga baru-baru ini saja bisa mengevakuasi warga sebelum gunung meletus,” kata dia. Hingga 20-an tahun lalu, gunung api lebih dulu meletus sebelum statusnya menjadi Awas.
Saat Kelud meletus tahun 1990, statusnya tak sempat Awas. Kesaksian ini disampaikan Giyono, mantan petugas pengamatan Gunung Kelud. Saat Kelud meletus 10 Februari 1990 itu, Giyono dan rekannya bersiap mengukur suhu air kawah. Namun, ia terlambat bangun. Kelud meletus sebelum mereka naik. 50 orang tewas!
Hari meletusnya Gunung Kelud Februari 1990 itu, media massa justru memberitakan kondisi gunung di Kediri itu stabil. Bahkan, aktivitasnya cenderung turun, misalnya Kompas, 10 Februari 1990, yang memuat berita ”Gunung Kelud Tenang, Merapi Terus Dipantau”. Padahal, Kelud meletus hebat.
Contoh lain, letusan Merapi tahun 1994. Seperti disampaikan Sri Sumarti, peneliti gunung api pada Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), tahun itu Merapi meletus saat Siaga.
Peneliti BPPTK, termasuk Sri, saat itu dikirim ke gunung itu untuk meneliti peningkatan aktivitas guna menentukan langkah mitigasi. Saat Sri dan rekan mengambil sampel air di Kawah Gendol, di pusat aktivitas Merapi, Merapi meletus. Nyawa mereka nyaris terenggut. (Kompas, 19 Januari 2012)
Kapan dan seberapa kuat letusan gunung api terkadang tak cukup diketahui dari alat-alat pemantau konvensional, seperti seismograf pengukur tremor atau EDM dan tiltmeter (mengukur perubahan bentuk) untuk mengetahui penggembungan tubuh gunung yang menandai peningkatan aktivitas magma. Butuh riset, ahli, dan peningkatan alat-alat pemantauan.
Apalagi, letusan gunung api merupakan pertunjukan hukum alam yang bisa berubah sesuai dinamika. Menyandarkan ilmu titen dan ingatan pada perilaku gunung api sebelumnya tidaklah cukup. Apalagi, ingatan manusia ternyata sangat pendek.
”Letusan gunung api pertunjukan dari hukum termodinamika yang ideal. Akhir dari proses tergantung proses sekarang, tak harus sama dengan masa lalu,” kata Surono.
Jika hanya ikut saran petugas dan pensiunan pemantau Gunung Merapi, penentuan status Awas saat gunung itu krisis tahun 2010 pasti terlambat sehingga jumlah korban banyak. Petugas yang puluhan tahun memantau Merapi itu menyarankan kepada Surono agar peningkatan status Awas menunggu munculnya api diam— penanda lava sampai puncak. Biasanya, begitulah perilaku Merapi sebelum meletus. Tahun 2010, ternyata Merapi meletus tanpa sinyal itu.
Antisipasi ke depan
Menurut Surono, kini saatnya memperbarui, mulai dari pemahaman, alat-alat, hingga kemampuan para ahli gunung api. Masalahnya, masyarakat terdampak Kelud sudah pulang. Berapa sebenarnya zona aman Kelud, mestinya disusun ulang dan itu harus didasarkan penelitian dari letusan terkini. ”Kawan Rawan Bencana (Kelud memang harus terus direvisi. Disusun berdasarkan riwayat letusan,” katanya.
Pasca letusan kali ini, menurut geolog dari Museum Geologi Indyo Pratomo, danau kawah Kelud mungkin terbentuk lagi. Jika terjadi, upaya mengurangi bahaya Kelud harus dengan mengurangi volume air danau kawah, seperti pada era kerajaan dan diteruskan Belanda, lalu Orde Baru. ”Lebih penting lagi, bagaimana mengantisipasi letusan Kelud. Ini butuh penelitian serius dan segera.”
Sayangnya, perilaku warga, bahkan aparat pemerintah, abai dengan data ilmiah terkait bahaya gunung api. Surono mencontohkan kejadian saat status Kelud baru saja dinyatakan turun jadi Siaga dan zona bahaya dipersempit jadi radius 5 kilometer. Tiba-tiba muncul berita satuan tentara berjalan hingga 200 meter dari bibir kawah. Seusai mengamati, sang komandan membuat pernyataan, Kelud dipastikan aman.
”Untuk mengetahui aktivitas gunung api tidak hanya dari apa yang dilihat. Dibutuhkan teknologi. Bagaimana bisa dipastikan aman hanya dengan melihat?” kata Surono. Bahaya Kelud tak boleh dianggap enteng. Catatan Kusumadinata (1979), sejak letusan 1586, Kelud menewaskan 15.000 orang, termasuk 3 pemantau gunung dalam letusan 1951.
Tak terpantau
Di negeri ”Cincin Api”, letusan gunung api tak terpisahkan. Kelud hanya satu dari 127 gunung api aktif di Indonesia. Namun, negeri dengan 30 persen gunung api di dunia ini minim alat pemantau. Di Kelud hanya dipasang 5 seismometer (pengukur getaran) dan 2 tiltmeter.
Suatu hari, Surono terbang di atas Gunung St Helen di Amerika Serikat. Ia terkejut mendapat info di gunung itu ditanam lebih dari 50 seismometer dan lebih dari 20 tiltmeter.
Di Indonesia, dari 127 gunung api itu baru separuhnya dipantau intensif. Surono kerap mengibaratkan, pemantauan gunung api di Indonesia seperti menaruh anak kecil di pinggir kolam. ”Kalau lengah, pasti masuk kolam. Kalau selamat, bisa dibilang kebetulan.”
PVMBG pun memilih mitigasi gunung api yang letusannya berdampak besar. Padahal, gunung api yang seolah tertidur, bisa terbangun dan meletus, seperti Gunung Sinabung yang tercatat sebelumnya tak meletus sejak tahun 1600-an.
Kini, tenaga ahli di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), rata-rata harus menangani minimal lima gunung api. ”Sangat tidak ideal. Di Jepang, satu gunung api dikeroyok puluhan ahli. Kita kekurangan ahli dan peneliti gunung api,” kata Surono.
Jurusan kegunungapian juga belum ada di perguruan tinggi. Pendidikan soal gunung api menginduk di beberapa fakultas atau jurusan lain, seperti geologi, geografi, atau geofisika dan kimia. Padahal, ilmu gunung api, baik yang fundamental (prediksi jangka panjang) maupun terkait prediksi jangka menengah hingga pendek, memerlukan gabungan beberapa disiplin ilmu.
Ironisnya, Singapura yang tanpa gunung api lebih maju. Negara yang relatif aman dari bencana geologi itu punya pusat kajian gunung api, Earth Observatory of Singapore (EOS), di bawah naungan Nanyang Technological University. Beberapa ahli dunia, termasuk dari Indonesia, bergabung di sana.
Oleh: Ahmad Arif
Sumber: Kompas, 4 Maret 2014